Bocah Penjual Indomie dan Aqua

Abu Teuming

Oleh: Abu Teuming
Pegiat Literasi dan Ka Biro – Kontributor Barometernews.id Aceh Besar

Usai mengisi kelas menulis rutin di sebuah lembaga pendidikan kawasan Darul Kamal, Aceh Besar saya pulang melewati jalan Soekarno Hatta, lalu melintasi Jalan Mr. Teuku Moh Hasan menuju Simpang Surabaya.

Bacaan Lainnya

Kala menyisir jalan itu, saya melihat seorang anak, sepertinya usia dia 10 tahunan. Ia sedang berjualan di badan jalan, bukan tepi jalan.Tepatnya berseberangan dengan gudang bus Putra Pelangi.

Sekilas saya melihat anak itu meletakkan beberapa indomie, minuman merek aqua ukuran sedang, dan satu minuman teh gelas di atas meja ala kadar, seperti tripleks bekas yang ia tindih menjadi meja.

Karena penasaran, saya yang telah melewatinya sekitar 50 meter, memutuskan untuk balik arah menuju tempat ia jualan.

Saya ingin membeli apa pun yang ia jual, dengan niat membantunya. Saya menyaksikan, hanya ada 6 botol aqua sedang dan 6 bungkus indomie, plus satu teh gelas.

Sebelum saya membeli, ada seorang pria muda, ia membeli dua indomie dengan sebotol aqua. Entah berapa harganya sehingga si anak mengaku tak ada uang kecil untuk kembalian.

Dengan penuh iba, pria itu berucap “hana peu, cok keu adek aju” (tak usah kembeli lagi, ambil saja untuk adik), lalu ia pergi dengan motor supra kelas klasiknya.

Kemudian saya bertanya harga satu indomie dan aqua sedang. Masing-masing dijual Rp.4.000. Sejenak saya berpikir, biasa di kios lain harga per indomie Rp. 2.500, dan aqua sedang Rp. 3.000.

Saya tak peduli dengan berapa harga di kios. Tujuannya untuk membantu anak asal Aceh Besar itu.

Saya membeli dua indomie seharga Rp.8.000. Usai transaksi, saya sempatkan bertanya tentang dirinya. Ia asli putra Aceh Besar, yang tidak pernah sekolah, walau tingkat dasar.

Ayahnya telah tiada. Ibunya berada di pedalaman Aceh Besar, bekerja sebagai petani. Bocah itu anak pertama dan memiliki beberapa adik yang kini hidup bersama ibunya.

Setelah sedikit mengetahui identitasnya, saya berpesan, “jangan lupa salat dan mengaji”. Lalu pamit meninggalkannya menggunakan supra super klasik.

Ia pun melayani dengan sopan, sambil mengucapkan terima kasih pada saya.

Dalam perjalan pulang, terbesit ingin kembali lagi untuk mendapatkan informasi detail terkait dirinya. Namun suasana makin gelap, orang-orang sudah mulai salat Magrib. Saya pun harus segera tiba di rumah. (*)

Pos terkait