Cegah COVID-19 Menyebar di Aceh (Bagian 1)

Ilustrasi

Oleh : Aduwina Pakeh, M.Sc

Anggota Satgas Cegah COVID-19 UTU

Bacaan Lainnya

Sebelum anda memulai membaca tulisan ini. Ijinkan saya menyampaikan disclaimer dulu. Saya orang awam. Bukan ahli apa-apa.

Saya hanya sebagai tenaga pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Teuku Umar (UTU). Jika dalam tulisan ini terdapat banyak kekeliruan, dipersilahkan untuk dikritik, karena saya bukan virolog, bukan juga dokter klinis, atau expert di bidang COVID-19.

Saya menulis ini karena dorongan dari lubuk hati yang terdalam dan dari orang-orang terdekat yang menginginkan selalu dalam kebersamaan. Niatnya ingin membantu sesama, mengetuk hati para pembaca, semoga pesan dalam tulisan ini sampai ke para penguasa negeri ini, para pejabat (Eksekutif & Legislatif) mulai dari Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, hingga level Pemerintahan Gampong.

Selanjutnya para alim ulama, pengusaha, PNS, pemuda, mahasiswa, santri dan segenap lapisan masyarakat. Maka menulis adalah pilihan perjuangan saya, meski nantinya tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kebijakan pemerintah.

Jujur saya tidak tahu harus memulai dari mana tulisan ini, intinya saya ingin menulis tentang kewaspadaan terhadap COVID-19, kegelisahan dan jeritan rakyat kecil, kehadiran pemerintah, ketaatan warga atas anjuran menetap dirumah, gejolak harga barang di pasaran, kemiskinan informasi, kelangkaan Alat Perlindungan Diri (APD) dan berbagai permasalahan yang timbul akibat wabah COVID-19 ini.

Hari-hari dalam minggu terakhir ini, bangsa Indonesia menghadapi masa sulit, sama seperti puluhan bahkan ratusan negara dari berbagai belahan dunia menghadapi isu yang sama, yaitu Wabah Corona Virus Desease 2019 (COVID-19). Setiap negara tentu memiliki cara pandang yang berbeda dalam menghadapi virus ganas ini, tergantung karakter, budaya dan situasi masyarakat negara masing-masing.

Sebahagian Negara memilih Lockdown untuk mencegah penyebaran COVID-19. Sebut saja salah satunya Malaysia, Negara yang sempat saya diami semasa studi master di University Malaysia Terengganu (UMT) tahun 2012-2015 lalu. Malaysia menutup total akses keluar masuk ke Negara tetangga kita itu, Malaysia dianggap mampu melaksanakan kebijakan tersebut dikarenakan kedisiplinan masyarakatnya yang tinggi dan kondisi ekonomi negara yang beribukota Kuala Lumpur itu dianggap siap dalam mengarungi masa Lockdown.

Bagaimana dengan Negara kita Indonesia, setelah mempertimbangkan berbagai aspek selama dua pekan terakhir, Indonesia akhirnya memilih opsi physical distancing atau menjaga jarak aman antar warga dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.

Menurut pemerintah Lockdown bukanlah pilihan yang tepat untuk Indonesia, meskipun banyak pihak yang mendorong pemerintah memberlakukan kebijakan Lockdown. Menurut penulis, kebijakan itu sudah tepat, Lockdown hanya bisa diberlakukan oleh Negara yang warga dan pemerintahnya punya kapasitas. Warganya memiliki tabungan untuk hidup kedepan. Warganya teredukasi dan connected.

Indonesia belum siap memberlakukan Lockdown, Negara kita berbentuk kepulauan (17.000 pulau), tidak semua pulau terkoneksi internet, tingkat pendidikan juga berpengaruh, untuk permasalahan wabah COVID-19 ini saja banyak warga yang belum mengetahui definisi, gejala, bahayanya virus COVID-19 ini.

Sekarang pemerintah kita dari berbagai level sedang giat-giatnya mengkampanyekan kebijakan Physical Distancing (Jaga Jarak antar warga) baik melalui Televisi, media cetak, online maupun gerakan aparat TNI/POLRI yang turun langsung mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat lapisan bawah. Harapan kita semua, kebijakan ini efektif mencegah penyebaran COVID-19.

Turunan dari kebijakan physical Distancing tersebut adalah larangan untuk berdekatan dan berkumpul. Dilarang berdekatan dan dilarang berkumpul adalah tindakan penting yang dilakukan untuk menghentikan atau setidaknya memperlambat kecepatan penyebaran virus corona (COVID-19). Dengan melakukannya, orang yang terinfeksi virus, baik yang menunjukkan gejala sakit maupun yang tampak sehat, tidak menularkan virus ke orang-orang sehat.

Berikutnya Acara-acara besar, seperti pertemuan masyarakat, hiburan, olahraga ataupun bisnis harus ditunda atau dibatalkan. Jika terpaksa harus keluar rumah, maka selalu jaga jarak minimal 1 meter dari orang lain. Jangan bersalaman. Cuci tangan pakai sabun dan air mengalir atau cairan pembersih tangan saat kembali pulang ke rumah.

Namun demikian, kita juga disuguhkan informasi seputar korban COVID-19 melalui juru bicara pemerintah, yaitu tentang jumlah korban positif terjangkit COVID-19, jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP), jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP), jumlah pasien sembuh dan jumlah pasien yang meninggal dunia, dari hari ke hari terus mengalami kenaikan pesat, bahkan salah satu Dokter di indonesia menyebutkan kondisi Indonesia hari ini hampir sama dengan kondisi Italia 18 hari lalu.

Apa maksudnya itu? 18 hari lalu, di Italia adalah minggu pertama penanganan wabah COVID-19 yang jumlah pasien meninggal mengalami kenaikan setiap harinya. Tren tersebut patut kita khawatirkan, dimana saat ini Italia adalah negara dengan korban meninggal akibat COVID-19 tertinggi di dunia, mereka menyalib China. Bahkan Sabtu (23/3/2020) lalu adalah hari dimana 800 jiwa warga Italia meninggal dunia akibat virus berbahaya ini. Wajar jika hari ini banyak orang yang khawatir melihat tren kenaikan jumlah korban COVID-19 di Indonesia.

Kita tidak meragukan kemampuan Negara Indonesia yang memiliki 270 juta jiwa ini dalam upaya penanganan COVID-19 ini. Namun penulis merasa khawatir setelah memperhatikan kelakuan pejabat dan masyarakat di daerah-daerah. Dari berbagai sumber bacaan, kita mendapati informasi yang dapat dipercaya, bagaimana kebijakan pemerintah daerah itu berbeda-beda satu daerah dengan yang lain, ada yang sigap, ada juga yang slow, ada yang tanggap, namun ada juga yang masih sibuk dengan rutinitas harian seakan-akan daerahnya aman-aman saja dari COVID-19 ini. Belum lagi dengan sikap warga masyarakat antar daerah yang tingkat pengetahuan, disiplin juga berbeda-beda.

Memasuki minggu kedua saya mengikuti karantina mandiri dirumah (#dirumahaja), melaksana Work From Home (WFH), mengajar via online dan tentunya mengikuti perkembangan nasional ttg COVID-19 lewat berbagai media. Namun godaan keluar rumah masih saja tak terbendung, sebut saja untuk keperluan belanja kebutuhan rumahtangga, yang lebih parah adalah menghadiri undangan pesta pernikahan family dan juga bertakziah ke rumah saudara yang meninggal dunia. Nah, ternyata kondisi diluar rumah itu biasa saja, hanya sedikit saja pengaruhnya (jika dibuat survey, berapa persen warga yang benar-benar karantina dirumah tidak keluar sama sekali dan meberapkan physical distancing).

Saya memperhatikan bagaimana pasar kita masih terbuka bebas, perpindahan uang dari tangan ke tangan terus terjadi tanpa ada skenario filter. Berjabat tangan apalagi di pesta pernikahan dan rumah duka family rasanya bagai #WAJIB dilakukan, hanya ada sebagian kecil warga yang sudah mulai menyembunyikan tangannya dan menundukkan kepalanya sebagai cara terbaik untuk mengelak bersalaman dengan para tamu.

Dilihat dari perilaku tersebut, tidak ada rasa gundah dan gelisah akan adanya wabah COVID-19 yang sedang melanda, kebanyakan masyarakat terutama di Aceh yang dari sejak kecil sudah ditanamkan ilmu Tauhid, hidup mati itu urusan Allah SWT, jika sudah takdir mati akibat Corona, sudah ajalnya disitu, tidak ada yang perlu ditakutkan, hanya takut kepada Allah SWT. Jika jawabannya sudah seperti itu, saya memilih diam, tidak ada hujjah lain yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menghindari keramaian.

MUI Pusat telah mengeluarkan Fatwanya dimana wilayah yang terpapar COVID-19 dianjurkan utk tidak menyelenggarakan shalat berjamaah dan shalat jumat. Menyikapi fatwa ini terjadi perbedaan pendapat diantara ulama di Aceh, ada yang sepakat langsung menghentikan shalat berjamaah (keramaian) dan ada yang menolaknya dengan keras. Sebagai awam, saya tidak masuk ke ranah tersebut. Namun demikian, saya coba tuliskan sedikit pesan dari AA Gym, dimana beliau salah satu ulama di Indonesia yang sepakat menghentikan sholat berjamaah utk sementara waktu hingga keadaan pulih kembali.

AA sapaan akrab Pimpinan Darul Tauhid ini mengatakan, 85 % pasien terinfeksi virus COVID-19 tidak menunjukkan gejala apapun (terkonfirmasi lewat pernyataan Walikota Bogor, Bupati Karawang, Artis dll yang positif terpapar Corona Virus namun tidak menunjukkan gejala apapun), sehingga kita tidak tahu siapa orang yang sudah terpapar virus ini, bisa saja kita yang membawa virus tersebut ke Masjid atau orang lain yang membawanya. Karena sifat virus ini adalah menular, maka dari itu jaga jarak dan beribadah dirumah adalah pilihan terbaik.

Aceh jika dilihat dari catatan data pemerintah pusat hingga Rabu (25/3/2020) belum ada pasien yang dinyatakan positif corona. Namun demikian hingga tulisan ini dikeluarkan jumlah ODP dan PDP di aceh masing-masing 216 dan 38 orang. Dua pasien PDP dinyatakan meninggal dunia (meskipun belum ada hasil swap test apakah positif atau negatif Corona). Angka ODP dan PDP di Aceh terus merangkak naik dari hari kehari yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Bahkan berita terbaru ada sekitar 13 orang PDP dari Anggota DPR Aceh dari beberapa fraksi, itu disebabkan mereka mengikuti kegiatan partai masing-masing, dan diantara peserta tersebut dinyatakan positif terpapar COVID-19.

Saudaraku, bangsa Aceh, waspadalah dan tetap taati anjuran pemerintah untuk menghindari keramaian dan menetap dirumah masing-masing. Karena virus COVID-19 ini bisa menyasar kesemua orang, dari Negara-negara luar kita mendengar ada beberapa pesohor yang telah terjangkit COVID-19, diantaranya Presiden Brasil, Menteri Kesehatan Inggris, Pangeran Charles, Paulus Benediktus (VATICAN), para artis terkenal, pemain sepakbola profesional, dan banyak daftar nama beken lainnya. Di indonesia sendiri ada beberapa pejabat tinggi, guru besar, dokter, dll.

Sebut saja Menteri Perhubungan, Budi Karya, Walikota Bogor, Bupati Karawang, Wakil Walikota Bandung, keluarga Menteri PAN-RB, benerapa Artis terkenal dan banyak tokoh publik yang tersebar di berbagai daerah yang telah terjangkit COVID-19.

Sebagai pengetahuan, Corona Virus ini makhluk yang butuh inang. Butuh reservoir untuk hidup. Butuh agen. Butuh nempel di makhluk hidup agar dia bisa eksis. Maka virus tanpa inang akan mati. Tanpa menempel di inang ia akan selesai. Begitu teorinya. Waktu bertahan tanpa inang berbeda pendapat antar ilmuwan.

Bisa dibayangkan jika virus tersebut menempel pada seorang tokoh publik dan dia tidak menyadarinya, terus melakukan kegiatan rutin menghadiri pertemuan besar, bertemu para pejabat lainnya dan bersalaman secara terus menerus. Apa yang akan terjadi? Fakta inilah yang sangat dikhawatirkan oleh banyak pihak saat ini, termasuk saya pribadi. Kita tidak memiliiki cukup alat untuk melakukan test, apakah kita terjangkit atau tidak? Para dokter dan perawat di RS di Aceh pun belum dilengkapi APD yang memadai, sehingga sulit membedakan mana pasien yang terpapar COVID-19 dan pasien biasa.

Satu kasus di Aceh Barat bisa dijadikan pelajaran oleh para pihak, dimana seorang pekerja tambang /konsultan yang diyakini PDP mendatangi RSU CND karena mengalami gejala batuk, sesak dan demam. Oleh pihak RS menyambut dan memeriksa layaknya pasien biasa, namun kemudian pasien tersebut dirujuk ke RSU ZA, banda Aceh.

Maka imbasnya satu dokter dan 8 paramedis harus diisolasi secara mandiri untuk mencegah hal2 yang tidak diinginkan, sambil menunggu hasil pemeriksaan swap atas pasien PDP tersebut, mudah-mudahan hasilnya Negatif. Jika sebaliknya???

Saat ini pemerintah sedang mengkaji opsi test (rapid test) massal terhadap masyarakat yang diyakini PDP, ODP dan orang-orang yang memiliki riwayat kontak fisik dengan mereka. Langkah ini sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Jawa Barat dibawah komando Ridwal Kamil. Ribuan warganya di test massal. Lalu bagaimana dengan Aceh? Kita masih menunggu kebijakan seperti apa yang sedang disiapkan oleh pemerintah Aceh untuk melindungi warganya dari COVID-19.

Bersambung …

Pos terkait