Cegah COVID-19 Menyebar di Aceh (Bagian Kedua)

Ilustrasi

Oleh : Aduwina Pakeh, M.Sc
Anggota Satgas Cegah COVID-19 UTU Meulaboh

Setelah harapan jutaan warga Indonesia terutama warganet terhadap #LOCKDOWN INDONESIA# pupus, karena pemerintah Indonesia memutuskan memilih Physical Distancing (Jaga Jarak antar Warga) sebagai solusi memutus mata rantai penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia, kini warganet ramai-ramai menyerukan tagar #KARANTINA WILAYAH#.

Bacaan Lainnya

Karena pemerintah telah menutup rapat-rapat tentang kemungkinan Lockdown, terutama setelah pengumuman Kepala BNPB Doni Monardo yang merupakan Koordinator Gugus Tugas Nasional, maka warganet menyeru perjuangan kedua untuk Karantina Wilayah.

Menurut banyak pihak Karantina wilayah sudah harus dilaksanakan. Suara-suara tentang itu sudah menggema diberbagai daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta salah satu contohnya telah mewacanakan akan memilih kebijakan Karantina Wilayah, namun belum mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat, apalagi Jakarta adalah miniaturnya Indonesia dan saat ini Jakarta adalah wilayah dengan jumlah korban positif maupun meninggal terbanyak di Indonesia.

Bagaimana dengan daerah lain? Gubernur Papua, Walikota Tegal dan beberapa kepala daerah lainnya telah mendeklarasikan kebijakannya untuk KARANTINA WILAYAH nya masing-masing. Apakah kebijakan tersebut akan efektif? Tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat? Apakah diizinkan oleh Jakarta? Sementara “Jakarta” sendiri belum mendapat izin?

Lalu dengan meningkatnya jumlah pasien positif COVID-19 diberbagai daerah, nyaris 90 % Provinsi di Indonesia terjangkit, dan menimbulkan berbagai spekulasi di tengah-tengah masyarakat. Rakyat menggugat pemerintah daerahnya masing-masing untuk menyegerakan KARANTINA WILAYAH. Suara-suara ini dapat kita dengar dan lihat dilayar kaca, media elektronik dan media sosial.

Aceh sendiri bagaimana? Kamis ( 26/3/2020), Jubir penanganan COVID-19 Provinsi Aceh mengumumkan kasus pertama positif corona, itu berarti Aceh sudah menjadi daerah terjangkit. Esok harinya jumlah pasien terkonfirmasi positif COVID-19 bertambah tiga orang, sehingga total 4 orang. Ada fenomena menarik dari bertambahnya pasien positif COVID-19 di Aceh yang diketahui berasal dari Kota Banda Aceh dan Aceh Besar.

Pasien PDP, seorang warga kota Banda Aceh setelah beberapa hari dirawat di RSUZA, diperbolehkan pulang padahal hasil swapnya belum keluar. Pasien ini diketahui seseorang yang baru saja pulang dari Pakistan, sebelum kembali ke Aceh beliau singgah di Kolaka Sulawesi Tenggara tempat berlangsungnya Ijtima’ Dunia (meski acaranya dibatalkan).

Sesampai di Aceh, beliau dinyatakan ODP dan beberapa hari kemudian mengalami gejala COVID-19 sehingga statusnya dijadikan PDP setelah mendapatkan penanganan medis di RSUZA. Anehnya, pasien ini diperbolehkan pulang dari RSUZA padahal hasil swapnya belum keluar.

Kenapa bisa begitu? Prosedur yang sebenarnya seperti apa? Tidak berselang lama, kemudian pihak RSUZA mendapatkan hasil swap yang menyatakan status pasien tersebut adalah POSITIF. Baru kemudian pihak RSUZA kembali menjemput pasien ini kerumahnya, berbarengan dengan hasil swap pasien PDP tersebut juga keluar status untuk istri beliau yang juga dinyatakan POSITIF.

Dan bisa dibayangkan selama beberapa hari ini beliau berinteraksi dengan keluarga, tetangga dan masyarakat umum, karena beliau seorang ahli ibadah, sudah barang tentu beliau melaksanakan shalat berjamaah di Masjid atau mushalla. Lantas kalau sudah seperti ini apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Kasus kedua adalah meninggalnya seorang Pasien PDP saat menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh, Jenazah pasien berasal dari Aceh Utara ini saat dibawa kembali ke rumah duka dikediamaannya menggunakan SOP WHO dalam hal penanganan pasien COVID-19 artinya pasien dimasukkan dalam kantong jenazah. Sesampai dirumah duka, keluarga dan masyarakat membuka kantong jenazah dan memfardhukifayahkan jenazah tersebut.

Pertanyaannya Apa ada yang salah dengan perbuatan keluarga dan warga gampong tsb? Jika pasien yang meninggal tersebut dikarenakan penyakit lain yang dialaminya bukan karena penyebab COVID-19 maka tidak akan terjadi apa-apa. Namun jika sebaliknya? Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pasien PDP tersebut hasil swapnya dinyatakan POSITIF? Allahu Akbar, kepadaNya kita berlindung.

Menurut informasi, Pasien PDP dari Aceh Utara tersebut baru saja kembali dari Negeri Jiran Malaysia, dimana kita ketahui jika Malaysia telah melakukan LOCKDOWN. Jangan tanya bagaimana cara pulang ke Aceh? Malaysia itu sudah kayak rumah kedua bagi sebahagian orang Aceh. Kalau gak percaya boleh tanyakan pada tetanggamu yang pernah merantau ke Malaysia, nanti akan tahu jawabannya.

Belum selesai sampai disitu, berkembang lagi informasi ada ratusan warga Aceh yang merantau ke Jakarta dan Malaysia berbondong-bondong pulang ke Aceh, Cek Faktanya di Google. Sebahagian dari mereka diprediksikan membawa pulang COVID-19 karena berasal dari wilayah yang terjangkit Wabah.

Apakah informasi itu benar? Siapa penting mencari tahu kebenaran (agar tidak disebut hoax) tentang berita itu atau mendata para “pendatang” itu dan mengedukasinya kemudian mengkarantina yang bersangkutan? Apakah pemerintah sudah ada data sebaran warga Aceh yang kembali dari perantauan.

Mungkin yang resmi boleh saja ada di chek point Bandara SIM atau pelabuhan-pelabuhan, lalu bagaimana dengan warga yang kembali lewat jalan “belakang”? Kita tidak anti dengan mereka (Warga Aceh dari perantauan) dan mereka tidak salah, karena Wilayah Indonesia dari sabang sampai marauke masih boleh keluar masuk orang.

Saya berkeyakinan diluar sana masih ada warga yang terpapar COVID-19 namun tidak menunjukkan gejala apapun kemudian berbau dengan warga lainnya. Kita hanya pasrah, menunggu bom waktu.

Kabupaten Aceh Selatan telah mendeklarasikan daerahnya untuk dikarantina atau Lockdown Daerah terhitung 28 Maret 2020 hingga waktu kembali normal. Apa saja persiapan kabupaten penghasil pala tersebut sehingga lebih cepat mendeklrasikan diri LOCKDOWN? Apakah pemerintahnya siap? Warganya siap? Kita tunggu saja jawabannya beberapa hari mendatang.

Kemudian disusul paket lockdown lokal dari Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh. Paket yang diprakasai oleh dua sosok pemimpin Kutaradja yaitu Aminullah Usman (Walikota Banda Aceh) dan Farid Nyak Umar (Ketua DPRK Kota Banda Aceh) yang bersepakat untuk menutup beberapa titik daerah kota setelah 3 warganya dinyatakan POSITIF COVID-19, disamping lockdown lokal beberapa kebijakan lainnya juga disepakati oleh kedua pucuk pimpinan kota Gemilang tersebut.

Di hari yang sama, Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali mengirim surat permohonan penutupan bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar kepada Menteri Perhubungan RI, Cq. Dirjen Perhubungan Udara. Permohonan itu dilatarbelakangi penyebaran COVID-19 yang cenderung meningkat dari hari kehari yang telah menimbulkan korban jiwa dan juga merosotnya ekonomi. Menurut Mawardi perlu dilakukan penanganan secara cepat, tepat, fokus, terpadu dan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah.

Politisi Partai Amanat Nasional itu menilai Bandara SIM adalah salah satu pintu masuk penyebaran COVID-19 di Aceh, dan hal ini juga diaminkan oleh banyak pihak serta sudah ada buktinya juga, Pasien PDP pertama yang meninggal dunia beberapa waktu lalu sebelumnya melakukan perjalanan udara melalui bandara SIM, dua hari setelah meninggal, hasil swap PDP tersebut dinyatakan positif.

Serta masih banyak contoh-contoh korban pasien positif lainnya di seluruh penjuru nusantara adalah orang-orang yang memiliki riwayat bepergian dengan peswat terbang. Apalagi bandara SIM Blang Bintang berstatus Bandara Internasional.

Menurut Mawardi Ali, menutup sementara bandara SIM adalah solusi tepat untuk memutus mata rantai mobilisasi penduduk dari kota-kota lainnya yang terjangkit COVID-19, apalagi dalam beberapa hari ini banyak sekali warga Aceh dalam perantauan “balik kampung”. Belum lagi yang pulang dari Malaysia.

Maka bercampuraduklah ODP, PDP dan Positif COVID-19 di Aceh tanpa penanganan yang sesuai SOP pencegahan COVID-19. Penulis sendiri mendukung sikap dan kebijakan dari bapak Bupati Aceh Besar tersebut, seandainya petisi masih bernilai pada pengambilan kebijakan maka akan segera saya buat akun change.id untuk mendukung lebijakan Pak Mawardi.

Dari beberapa contoh kasus diatas, adalah respon beberapa kepala daerah di Aceh yang melihat kondisi penyebaran dan dampak dari
COVID-19 itu secara serius. Bahwa persoalan ini tidak bisa dianggap remeh temeh, ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Lalu bagaimana dengan sikap Gubernur Aceh dan kepala daerah tingkat dua lainnya? Beragam kebijakan juga diambil namun ada yang masih berstatus wacana, ataupun kebijakan tersebut belum berdampak pada penanganan COVID-19.

Kalau menurut saya, kebijakan yang diambil oleh pemerintah itu harus bertahap, misalnya saat ini apa yang diperlukan oleh masyarakat, ada beberapa hal yang diperbincangkan warganet diantaranya, penyediaan Alat Perlindungan Diri (APD).

APD yang sangat mendesak diperlukan adalah untuk melindungi para tenaga medis yang berhadapan langsung dengan pasien COVID-19. Keselamatan mereka benar-benar harus diperhatikan, karena mereka adalah pejuang digaris terdepan. Data nasional juga menunjukkan puluhan dokter dan perawat/tenaga medis terpapar COVID-19, beberapa diantaranya telah meninggal dunia.

Selain utk tenaga medis, APD seperti Masker, Hand Sanitazer, sabun cuci tangan, air bersih dan lain-lain juga perlu disediakan oleh pemerintah. Nah, pemerintah diharapkan mengambil kebijakan seputar itu dulu, belanja APD dan distribusikan kepada petugas medis dan masyarakat luas.

Setelah pemenuhan APD, berikutnya pemerintah menyusun kebijakan seputar ketersediaan sembako / bahan makanan pokok untuk masyarakat, terlebih setelah diberlakukan aksi #dirumahsaja secara ketat. Sebagian pasar rakyat telah ditutup, mengakibatkan puluhan bahkan ratusan pedagang kehilangan pekerjaannya, hilang pekerjaan berarti hilang pendapatan.

Kita ketahui bersama hampir semua pedagang menggunakan utang sebagai modal, baik pedagang kecil maupun pedagang besar, semakin besar usahanya semakin besar pula utangnya. Berhenti jualan, bermakna berhenti bayar hutang, alhasil ambruknya ekonomi.

Lalu apa solusi yang ditawarkan oleh pemerintah terkait permasalahan tersebut? Kebijakan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo seputar kemudahan bagi kreditur motor, mobil, boat dan perbankan lainnya saja tidak sepenuhnya ditaati oleh para pihak, padahal Presiden loh yang mengeluarkan kebijakan, apatah lagi permasalahan bagi para pedagang yang belum ada solusi dari pemerintah.

Memang kebijakan penutupan pasar dianggap efektif memutus mata rantai penyebaran COVID-19, karena pasar adalah tempat berinteraksinya masyarakat (penjual dan pembeli) dari berbagai kalangan, suku bangsa dan daerah. Terutama pasar dipusat kota yang lebih kompleks baik pedagang maupun pembeli.

Berikutnya warung kopi dan lokasi permainan yang biasanya tempat mengumpulnya banyak orang juga ditutup, eksesnya bukan hanya penjual kopi saja yang hilang mata pencaharian akan tetapi para penjual kue yang biasanya menitipkan kue-kuenya di warkop. Begitu juga, selama ini kita ketahui, warkop adalah pusat bisnis, politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Terutama di Aceh.

Kita akan melihat efeknya dalam seminggu hingga tiga minggu kedepan, jika perputaran ekonomi dalam masyarakat macet, pendapatan nihil dan harga kebutuhan hidup melambung tinggi? Apa yang akan terjadi.? Saya khawatir akan terjadi gejolak dalam masyarakat, aksi protes dan pelanggaran-pelanggaran akan terjadi. Semoga prediksi saya ini salah.

Maka untuk menghindari terjadinya huru hara, apalagi dalam sebulan kedepan kita akan menyambut bulan suci ramadhan, Peemerintah benar-benar harus bertanggungjawab dan dituntut hadir memberikan kepastian dan keberlangsungan hidup masyarakat. Harus berani bertindak cepat. Toh contoh-contoh kebijakan dari kepala daerah lain sudah kita lihat, termasuk bagaimana Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bergerak di garda terdepan dalam melawan wabah COVID-19 ini.

Saya kembali bertanya sejauh mana persiapan pemerintah terkait penyediaan bahan pokok dan kontrol harga terhadap barang di pasar? Hari ini harga gula pasir mencapai 26.000/kg dari harga normal hanya 14.000/kg. Belum lagi harga barang-barang lain seperti telor, beras, bawang merah, bawang putih dan berbagai komuditi lainnya juga ikut naik.

Lalu apa kebijakan pemerintah yang ditunggu masyarakat, jika APD dan Kebutuhan hidup (terutama makanan) terjamin. Menurut saya adalah kebijakan untuk menjaga keselamatan warga yang sudah mematuhi seruan pemerintah #Dirumahsaja melalui Karantina Wilayah.

Apa itu? Karantina Wilayah merupakan istilah lain dari Physical Distancing atau social Distancing yang sekarang dipilih oleh pemerintah pusat. Membatasi jarak antar warga. Istilah Karantina Wilayah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 yakni pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah-tengah masyarakat.

Apabila suatu wilayah menerapkan aturan karantina wilayah, maka pintu perbatasan akan dijaga ketat oleh pihak kepolisian untuk memastikan tidak ada yang masuk ataupun keluar. Sejumlah ahli di Indonesia menilai bahwa kebijakan ini bisa menyelamatkan Indonesia dari crisis COVID-19. Namun yang namanya kebijakan pasti ada pro dan kontra.

Kebijakan Karantina Wilayah hampir sama dengan kebijakan Lockdown. Namun bedanya jika Lockdown adalah pembatasan total akses masyarakat ke luar rumah, toko dan berbagai fasilitas publik ditutup kecuali toko makanan. Masyarakat yang ingin keluar rumah untuk mendapatkan makanan dibatasi dan diatur oleh pemerintah, pemerintah benar-benar mengontrol warganya. Hal ini sedang berlangsung di ITALIA.

Kita juga mendorong pemerintah untuk melakukan rapid test massal, siapa yang akan dites? Terutama yang menunjukkan gejala, namun yang tidak menunjukkan gejala juga dites, karena menurut pernyataan para ahli lebih 80% orang terpapar COVID-19 tidak menunjukkan gejala, ini turut diaminkan oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Beliau sendiri positif Corona sekembali dari perjalanan dinas ke Turki. Bima langsung melakukan rapid test walaupun kondisinya fit dan tidak menunjukkan gejala apapun, wal hasil bima dinyatakan Positif COVID-19.

Tujuan dilakukan test adalah untuk mencari tahu yang positif, jika ditemukan langsung diisolasi sebingga tidak berbaur dengan warga. Karena jika tidak dilakukan test, orang-orang positif COVID-19 dengan leluasa menyebarkan virus ini ke masyarakat banyak. Dan inilah biang gak selesai ya sebaran kasus.

Beberapa kebijakan itu bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19 dan menanggulangi permasalahan yang timbul akibat wabah ini.

***
Bersambung…

Pos terkait