Oleh Aduwina Pakeh, M.Sc
Anggota Satgas Cegah COVID-19 UTU, Meulaboh, Aceh Barat
Hay Guys… Ketemu lagi kita ya, ini tulisan saya bagian ketiga dari edisi “Cegah COVID-19 Menyebar di Aceh”. Semoga sedikit tercerahkan atas fenomena apa yang sedang kita hadapi ini.
Jangan lupa bagi anda yang membaca tulisan saya hingga paragraf terakhir untuk meninggalkan jejak, tulisan ini boleh dikritik, diberi masukan, untuk pembelajaran dan penyempurnaan, maklum penulis sendiri pengetahuannya masih sangat terbatas. Terimakasih
Semoga kita semua diberikan kesehatan, kekuatan dan keselamatan oleh Allah SWT, terhindar dari Virus yang mematikan, COVID-19 ini. Tetap waspada, jaga jarak dan jaga kebersihan diri dan lingkungan.
**
Sejak Minggu (29/3/2020), Pemerintah Aceh secara resmi mengeluarkan maklumat bersama pemberlakuan jam malam bagi warga. Kebijakan itu dikeluarkan untuk mencegah penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di Provinsi Aceh.
Berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 ini, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di seluruh Nusantara.
Pemerintah pusat terus mensosialisasikan kebijakan Physical Distancing atau jaga jarak sebagai solusi pencegahan penyebaran virus corona ini, dengan melarang perkumpulan atau keramaian, meminta warga untuk tetap dirumah, meliburkan sekolah (mengganti tatap muka dengan belajar daring) dari mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, serta Work From Home (WFH) bagi pegawai pemerintah kecuali bidang pelayanan urgent.
Kebijakan nasional tentang physical distancing sudah mulai dirasakan dampaknya bagi masyarakat. Di berbagai daerah, kepala daerahnya telah mengeluarkan kebijakan baik berupa peraturan, himbauan dan aturan teknis lainnya terkait dengan Physical Distancing.
Pemerintah di berbagai level telah memberlakuka kebijakan itu seperti menutup tempat-tempat keramaian seperti pembatasan warung kopi, menutup pasar tradisional atau pasar ganti, melarang kegiatan keramaian (pesta, hajatan dll) serta meminta masyarakat untuk menetap dirumah.
Atas beberapa kebijakan tersebut, telah berimplikasi pada ambruknya ekonomi sebahagian masyarakat, khususnya para pedagang yang selama ini menggantungkan harapam hidupnya pada usaha dagang, kebijakan itu sangat berdampak pada mereka. Apalagi sebahagian pedagang itu menjadikan utang sebagai modal, jika tidak berjualan, jangankan untuk bayar utang, untuk memenuhi kebutuhan harian saja akan berat.
Lalu pertanyaannya apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah efektif memutus mata rantai penyebaran COVID-19? Jawabannya tentu saja belum. Buktinya pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru lainnya utk mendukung upaya pencegahan penyebaran COVID-19 ini. Teranyar kebijakan pemberlakuan jam malam.
COVID-19 adalah jenis virus yang menular, penularan terjadi apabila adanya interaksi antar manusia, maka cara yang paling ampuh mencegah penyebaran virus ini dengan cara setiap orang melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
Dalam waktu 14 hari itu, jika karantina dilakukan mengikuti protokoler karantina berdasarkan anjuran WHO, maka akan terdeteksi orang-orang yang mengalami gejala COVID-19 dan akan dilakukan isolasi atau perawatan intensif di RS rujukan COVID-19.
Nyatanya, kebijakan karantina mandiri dinilai belum efektif, karena tidak semua orang memberlakukannya, misal dalam sebuah rumah tangga ada 5 orang, 4 orang melakukan karantina, sementara satu orang tidak mengikuti protokoler karantina yang benar maka seisi rumah tersebut berpeluang terpapar COVID-19.
Kembali kepada kebijakan pemberlakuan jam malam. Pemerintah menilai dari beberapa kebijakan yang telah dilaksanakan belum juga efektif mencegah penyebaran COVID-19, buktinya pasien positif COVID-19, status Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) terus mengalami kenaikan.
Maka diambillah kebijakan pembatasan jam malam. Diantara poin penting dari maklumat pembatasan jam malam adalah menghimbau masyarakat agar tidak melakukan aktivitas diluar rumah pada malam hari sejak pukul 20.30 WIB sampai dengan pukul 05.30 WIB.
Seluruh kegiatan usaha masyarakat mulai pukul 20.30 WIB ditutup. Usaha seperti warung kopi/kafe, tempat makan dan minum, pasar, swalayan, mal, karoke, tempat wisata, tempat olahraga dan angkutan umum, kecuali angkutan umum yang melayani kebutuhan pokok masyarakat.
Bisa dibayangkan bagaimana situasi perekonomian masyarakat kelas bawah yang menggantungkan hidupnya pada usaha-usaha malam hari seperti jenis usaha diatas.
Harapannya kebijakan tersebut benar-benar efektif memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Aceh. Namun menurut hemat saya kebijakan tersebut belum efektif karena masih seputar penyelesaian masalah di ujung pohon, bukan diakarnya.
Menurut saya dan menurut ribuan netizen lainnya di Aceh, memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19 di Aceh adalah dengan cara mencari tahu akar masalahnya kemudian menyelesaikan akar masalah tersebut.
Apa akar masalah penyebaran COVID-19? adanya migrasi penduduk dari luar daerah Aceh ke Aceh, penduduk yang selama ini menetap atau bepergian ke wilayah terjangkit COVID-19 seperti Jakarta, Medan, bogor, bekasi, dan kota-kota lainnya di Indonesia bahkan dari Malaysia, mereka kembali ke Aceh tanpa pengawasan yang ketat. Itulah akar masalahnya.
Saya sudah membahasnya secara detail di tulisan sebelumnya bahagian kedua, dimana semua pasien yang dinyatakan Positif COVID-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia. Bahkan dua korban meninggal dunia adalah PDP yang baru kembali ke Aceh dari Jakarta dan Malaysia.
Pertanyaannya sekarang Apakah Pemerintah Aceh berani mengambil kebijakan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh, seperti upaya blokade beberapa gampong di kota Banda Aceh oleh aparatur gampong untuk mencegah penyebaran COVID-19 di gampong mereka. Serta pemerintah Aceh harus melakukan karantina kepada seluruh Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Sekarang dalam masyarakat terjadi kebingungan dalam mendefinisikan ODP serta menempatkan mereka seperti apa? Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan buku pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 yang telah direvisi dua kali,
dengan edisi ketiga terbit pada tanggal 16 Maret 2020 lalu mendefinisikan ODP adalah mereka yang memiliki gejala panas badan atau gangguan saluran pernapasan ringan, dan pernah mengunjungi atau tinggal di daerah yang diketahui merupakan daerah penularan virus tersebut. Selain itu, bisa juga orang sehat yang pernah kontak erat dengan kasus terkonfirmasi Covid-19.
Sementara itu baru-baru ini, Aceh dihebohkan dengan berita Sebanyak 25 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), masuk dalam daftar Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Coronavirus Disease (Covid-19) karena mempunyai riwayat perjalanan ke daerah terjangkit, seperti Jakarta dan Yogyakarta.
Padahal mereka tidak menunjukkan gejala sebagaimana definisi ODP yang dirakamkan oleh pemerintah, atau mereka juga tidak terkonfirmasi memiliki riwayat kontak dekat dengan pasien positif COVID-19. Disinilah letak kebingungan masyarakat awam dalam mendefinisikan ODP.
Contoh lain, jika seseorang dapat dinyatakan statusnya sebagai ODP secara serta merta karena baru pulang dari wilayah terjangkit COVID-19 seperti Jakarta dan Malaysia, maka jumlah ODP di Aceh saya pastikan sangat banyak dari jumlah yang diumumkan oleh Pemerintah.
Di Aceh Barat misalnya jumlah ODP berdasarkan data pemerintah adalah satu orang, dan itu sudah bertahan beberapa hari sejak diumumkan, sementara di masyarakat terus berdatangan orang-orang dari wilayah terjangkit terutama Jakarta.
Sepengetahuan saya saja, dua orang kolega saya di UTU baru kembali dari Jakarta beberapa hari lalu, kemudian seorang keponakan saya baru pulang dari Jakarta 5 hari yang lalu, dan mereka tidak masuk dalam rilis data ODP dari Gugus tugas Aceh Barat, mungkin karena mereka tidak menunjukkan gejala-gejala sebagaimana disyaratkan dalam definisi resmi pemerintah. Lalu bagaimana bisa Anggota DPRA masuk ke dalam daftar ODP? sekedar tanya saja, karena saya bingung.
Jika bandara, pelabuhan dan terminal masih terbuka lebar, maka hampir bisa dipastikan semua usaha pencegahan yang telah dilakukan di Aceh seperti menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian akan sia-sia.
Kenapa? Karena setiap hari warga Aceh dari perantauan (wilayah terjangkit COVID-19) terutama Jakarta dan Malaysia berdatangan ke Aceh. Jikapun ada pemeriksaan di bandara atau pelabuhan itu hanya sebatas cek suhu tubuh saja, sangat sulit mendeteksi orang-orang yang terjangkit COVID-19.
Seandainya kita asumsikan bahwa segala uapaya pencegahan yang telah dilakukan di Aceh ini selama dua pekan terakhir (14 hari) berhasil mensterilkan seluruh warga Aceh dari terjangkit COVID-19, tapi kemudian orang-orang terinfeksi COVID-19 masuk ke Aceh, maka penularan akan terus terjadi. Inilah alasannya kita meminta pemerintah tegas menutup perbatasan dan akses masuk ke Aceh dari berbagai sudut.
Namun faktanya hari ini, Aceh juga sudah termasuk wilayah terjangkit setelah 5 orang positif COVID-19, 44 orang Pasien Dalam Pengawasan (PDP), 620 Orang Dalam Pemantauan (ODP) serta 2 orang meninggal dunia. Data ini berdasarkan rilis pemerintah Aceh di situs https://dinkes.acehprov.go.id/ per tanggal 30 Maret 2020. Mereka tersebar di 23 Kabupaten/kota di Aceh.
Lalu apakah pemerintah Aceh akan melakukan upaya-upaya seperti yang kita usulkan diatas? Menutup bandara, pelabuhan dan terminal? Jawabannya mudah sekali ditebak, tidak akan pernah, karena Aceh belum mandiri dalam segala hal, Aceh masih sangat tergantung dengan medan dalam pemenuhan pasokan logistik berupa gula pasir, telur ayam, minyak goreng, tepung dan berbagai komuditi lainnya.
Dalam seminggu terakhir saja macet distribusi barang dari medan ke Aceh, menyebabkan kenaikan harga gula pasir di pasaran yang melambung tinggi mencapai 26-28 ribu rupiah per kilogramnya. Bahkan kemarin, Senin (30/3/2020), Plt. Gubernur Aceh menyampaikan komitmen akan kelancaran distribusi logistik dari Medan ke Aceh. Itulah salah satu alasannya bahwa Pemerintah Aceh tidak akan melakukan karantina wilayah.
Mengutip hasil rapat forkompinda Aceh terkait penanganan COVID-19 di Meuligoe Gubernur Aceh (27/3) yang disiarkan media cnnindonesia terdapat beberapa point penting untuk ditindaklanjuti, diantaranya adalah melakukan pembatasan aktifitas diluar rumah secara tegas, dengan tetap memperhatikan aspek HAM dan ketentuan hukum; kemudian memantau keberadaan orang asing yang menetap di Aceh serta melarang masuknya orang asing dari luar negeri ke daerah Aceh.
Dari point tersebut tidak ada sama sekali usulan atau klausul usulan tentang pembatasan masuknya orang luar daerah atau dari daerah terjangkit COVID-19 ke Aceh.
Dalam upaya menghadapi COVID-19 ini kita memang tidak boleh pesimis, kita harus yakin (Insya Allah) kita (Aceh) akan mampu menghadapi ujian global ini, toh Alhamdulillah kita berhasil bangkit dari bencana maha dahsyat Gempa dan Tsunami Aceh 2004 lalu. Namun ikhtiar dan usaha menjauh dari wabah penyakit menular itu wajib.
Meski peluangnya sangat kecil, namun lewat tulisan ini, saya secara pribadi meminta kepada pemerintah Aceh untuk segera menutup akses masuk ke Aceh kecuali truk sembako atau logistik kebutuhan warga Aceh.
Apalagi Presiden Joko Widodo melalui akun media sosialnya mengatakan, proses mudik lebaran idul fitri kali ini lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya, tidak ada alasan bagi mereka menetap di perantauan seperti Jakarta ketika seluruh akses publik dan akses ekonomi tertutup terutama di Jakarta pasca penetapan DKI Jakarta berstatus darurat.
Bisa dibayangkan seperti apa arus mudik yang akan terjadi bulan April dan Mei 2020 ini. Saya tidak anti warga Aceh yang diperantauan ingin kembali ke Aceh, karena saya sadar betul bagaimana rindunya warga Aceh di perantauan untuk kembali ke kampungnya di Aceh, terlebih dengan adanya wabah COVID-19 ini. Alasan pulang kampung jelas karena diperantauan tidak bisa bekerja lagi.
Jika kondisi demikan akan terjadi, maka rekomendasi saya berikutnya adalah menetapkan seluruh warga Aceh/Pendatang yang masuk ke Aceh sebagai ODP serta melakukan karantina yang super ketat kepada mereka, tidak membiarkan mereka bebas bersilaturrahmi dengan ahli familynya untuk jangka waktu 14 hari.
Apakah pemerintah Aceh sanggup melaksanakannya?? Tidak ada keraguan sedikitpun bagi kami jika pemimpin Aceh mampu melaksanakannya.
Memutus rantai penularan COVID-19 ini tidak mungkin berhasil jika para ODP hanya diimbau untuk melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing tanpa edukasi dan fasilitasi yang lengkap dari pemerintah.
Hal yang sangat manusiawi apabila sesorang yang telah lama tidak pulang ke kampung halaman, maka ketika tiba di Aceh, dia akan melakukan silaturrahmi dengan seluruh familynya baik yang bertandang kerumah ataupun kediaman saudara yang dikunjunginya. Jika itu terjadi, buyarlah fungsi karantina bagi masyarakat Aceh yang telah menjalaninya selama ini.
Di samping itu, tidak semua ODP di Aceh ini adalah orang yang mampu secara ekonomi. Banyak di antara mereka adalah rakyat kecil yang sumber penghasilannya dari bekerja harian atau berpendapatan kecil. Bagaimana mereka bisa bertahan dirumah selama 14 hari tanpa ada pemasukan dan dukungan dari pemerintah, ujung-ujungnya dia akan keluar juga untuk bekerja memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.
Solusinya adalah Pemerintah Aceh menanggung sepenuhnya segala kebutuhan hidup seluruh ODP, jika memungkinkan seluruh kabupaten/kota menyediakan tempat untuk karantina seluruh ODP dalam wilayahnya, atau menempatkan mereka disatu lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Aceh.
**
Bersambung