Covid-19: Antara Paham Qadariyah dan Jabariyah

Foto Said Mahyuddin

Oleh Said Mahyiddin Muhammad

Wakil Sekretaris Muhammadiyah Aceh

Bacaan Lainnya

Tulisan ini tidak hendak menjelaskan apa itu Covid-19 menurut ilmu virologi. Yang jelas, Covid-19 adalah wabah penyakit yang telah menyebabkan ribuan manusia mati di seluruh dunia. Melalui tulisan ini, penulis ingin menelusuri pola pikir Qadariyah dan Jabariyah dalam masyarakat Islam Indonesia, khususnya dalam menghadapi wabah Covid-19.

Sengaja atau tidak, cara berfikir Qadariyah dan Jabariyah masih merasuki alam pikir masyarakat Islam. Namun agak lebih nyata wujudnya pada saat terjadinya musibah Covid-19 sekarang ini.

Tanggal 28 Februari 2020, Covid-19 diketahui masuk Indonesia dan resmi diumumkan oleh Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto, sebagaimana dirilis Medekan.com. 1 April 2020. Sejak itu media sosial, media cetak dan elektronik di tanah air setiap hari memberitakan betapa mudah dan cepat penularannya. Semua korban (pasien) Covid-19 harus diisolasi dan tidak boleh didampingi keluarga.

Korban juga tidak boleh dipegang oleh sembarang orang. Memasuki ruang isolasi seorang perawat/dokter harus menggunakan pakaian khusus atau Alat Pelindung Diri (APD). Dan yang paling menakutkan lagi penanganan jenazah korban Covid-19 yang berbeda dengan korban penyakit apa pun. Jenazah tidak  dimandikan dan terlebih dahulu harus dibungkus dengan plastik kedap udara, kemudian baru dikafankan.

Keluarga dan sanak famili tidak boleh menyentuh jenazah serta tidak dibenarkan mendekati saat prosesi pemakaman. Jika seseorang telah dinyatakan positif terinfeksi Covid-19, itulah saat terakhir dia bertemu keluarga, terkecuali jika yang bersangkutan telah dinyatakan sembuh.

Covid-19 telah menelan korban hampir 2 juta penduduk dunia. Sampai tanggal 13 April 2020, angka sementara penduduk dunia yang terinfeksi Covid-19 sudah mencapai 1,8 juta, tepatnya 1.846.680, jumlah yang sembuh 421.722, sementara  meninggal 114.090 (Kompas.com/13 April 2020).

Menurut laporan Gis and Data by John Hopkins University, sampai tanggal 12 April 2020, ada 5 negara terbanyak kematian akibat Covid-19. Pertama, Amerika Serikat, dengan angka positif 533.115 orang, jumlah kematian 20.580 orang, kematian per hari 1.970 orang. Kedua, Spanyol, dengan jumlah kematian 16.606, dari jumlah kasus positif 163.027 orang.

Ketiga, Italia, dengan jumlah korban meninggal 19.468 orang, dari jumlah kasus positif 152.271. Keempat, Prancis, dengan jumlah kematian 13.832, dari jumlah positif 129.654 kasus. Kelima, Jerman, dengan jumlah kasus 125.452 orang, meninggal 2.871 orang. (Kompas.com/12/4/2020). Begitu pula berita korban Covid-19 dari negara-negara lain, seperti Iran, Israel, Turki dan negara-negara Amerika Latin.

Bahkan Saudi Arabia juga menjadi serangan Covid-19, sehingga pada tanggal 6 Maret 2020, pemerintahnya langsung menutup dua tempat suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Ka’bah yang selama ini tidak pernah sepi dari orang tawaf, setelah itu menjadi lengang. Pemandangan ini sangat mempengaruhi psikologi umat Islam di seluruh dunia.

Di Indonesia sendiri, sampai tanggal 12 April 2020, jumlah masyarakat Indonesia yang positif terjangkit Covid-19 sudah mendekati angka 5.000 orang, tepatnya 4.557 kasus, 399 meninggal dunia, 380 dinyatakan sembuh.  Angka ini kemungkinan akan terus melonjak naik. Jumlah pasien meninggal masih lebih banyak dari pada yang sembuh. Bahkan sampai tanggal 12 April 2020, tercatat 44 orang tenaga kesehatan (dokter dan perawat) meninggal dunia akibat terinfeksi Covid-19. (katadata.co.id/12/4/2020).

Berdasarkan data korban Covid-19 yang terus naik, serta penyebarannya pun sangat cepat dan mudah serta sulit diketahui, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kesehatan, Kementrian Agama dan unsur-unsur Pemerintahan lainnya, mengajak masyarakat berikhtiar untuk memutuskan penyebaran Covid-19. Pemerintah menghimbau masyarakat menjauhi keramaian, seperti pasar, tempat hiburan,  rekreasi serta tempat-tempat lain yang menghimpun orang banyak. Pemerintah juga meliburkan Sekolah dan Perguruan Tinggi.

Kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang dilarang untuk sementara. Tempat-tempat yang secara rutin mengumpulkan orang seperti masjid dan gereja, juga dihimbau agar tidak melakukan aktivitas ibadah. MUI Pusat setelah mengkaji dan meminta pendapat para ahli, juga mengeluarkan himbauan yang sama, pada 16 Maret 2020, agar dalam kondisi terancam tertutularnya Covid-19, tidak perlu melaksanakan Jum’at, “karena aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19.” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Nasrorun Niam.

Diperkuat lagi dengan Surat Edaran Kementrian Agama RI, tanggal 16 Maret 2020. Isi surat Edaran tersebut juga meminta kepada seluruh umat beragama agar menghentikan sementara kegiatan ibadah yang melibatkan orang banyak. Sebelumnya pada tanggal 3 Maret 2020, PBNU, telah terlebih dahulu mengeluarkan Surat Instruksi, agar shalat Jum’at dan shalat Tarawih dilakukan di rumah masing-masing.

Kemudian pada tanggal 24 Maret 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mengeluarkan Surat Edaran tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19. Isi Surat Edaran PP Muhammadiyah tersebut, isinya kurang lebih sama dengan lembaga-lembaga tersebut di atas.

Dalam Lampiran Surat Edaran PP Muhammadiyah, dituangkan secara sistematis dan dilengkapi dalil-dalil Naqli (ayat Al-Qur’an dan Hadits) maupun Aqli (kaedah Fiqh dan pendapat ahli kesehatan). Surat Edaran tersebut dikekeluarkan setelah telah berkoordinasi dan mengadakan Rapat Bersama pada hari Sabtu, 26 Rajab 1441 H bertepatan dengan 21 Maret 2020 M.

Rapat tersebut diikuti unsur Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).

Himbauan Pemerintah, MUI, Muhammadiyah dan NU, untuk menghentikan shalat jama’ah, shalat Jum’at dan shalat tarawih di masjid-masjid pada masa terjangkitnya Covid-19, mendapat respon yang beragam di kalangan umat Islam. Sebagai negara berpenduduk manyoritas muslim, wabah Covid-19 telah disikapi dengan beraneka ragam sesuai paham agama dan tingkat wawasan masing-masing.

Bila kita amati, masyarakat Islam di Indonesia dalam menyikapi Covid-19 ada yang mengunakan alam pikiran kaum Qadariyah, meski pun mereka belum tentu mengenal paham ini.  Paham Qadariyah muncul di Irak pada akhir abad pertama Hijriyah, yang dipelopori oleh Ma’bad al-Jauhani al-Bisri. Kemudian dimasyhurkan oleh muridnya Ghailan al-Dimasyqi.

Dalam ajaran Qadariyah menekankan bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, baik dalam kebaikan maupun keburukan. Tidak ada campur tangan Tuhan dalam kesuksesan dan kegagalan seseorang. Manusia berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri. Jika seseorang berhasil atau beruntung, itu bukan ditentukan oleh Tuhan, tetapi manusia itulah yang menentukannya sendiri. Qadariyah modern mungkin ada kemiripan dengan paham meterialisme-hedonisme.

Berkaitan dengan Covid-19, orang-orang yang terjangkit paham Qadariyah, musibah seolah-olah terlepas dari Tuhan dan bergantung 100% pada usaha manusia (medis). Ketakutan yang luar biasa kepada Covid-19 melumpuhkan Tauhid kepada Allah. Wabah Covid-19 seakan-akan telah merubah taqdirnya.

Hilang rasa tawakkal dan rasa tunduk kepada cobaan Allah. Mereka menjadi rajin cuci tangan dengan sanitizer, menyemprot rumah, kantor, mobil, bahkan manusia pun ikut disemprot. Namun mereka lupa membaca do’a keluar rumah, lupa meminta perlindungan kepada Allah, lupa meningkatkan shadaqah, lupa memperkuat silaturahmi, lupa mempebanyak zikir, karena mereka yakin hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.

Manusialah yang berkuasa melawan Corona, tanpa perlu bantuan Tuhan. Mengharap bantuan Tuhan sia-sia saja dan membuang-buang waktu. Timbul rasa curiga yang berlebihan terhadap siapa pun. Batuk dan bersin dalam jenis apa pun mereka lari menjauh. Obat penangkal apa pun yang dibilang orang dicari, dibeli dan diminum. Paham Qadariyah muncul biasanya  saat datang “goncangan” musibah secara mendadak.

Jika mampu mengatasinya, mereka menyombongkan diri. Dan jika tidak mampu mengatasinya, mereka berputus asa. Sikap inilah yang dianut oleh orang-orang Komunis. Tuhan tidak hadir dalam usaha mereka, berhasil atau tidak merekalah yang menentukan. Inilah alasan fundamental komunisme di Indonesia harus ditolak, karena rata-rata orang Indonesia meyakini adanya kekuatan supra natural yaitu Tuhan. Kekuatan Tuhan diyakini melebihi kekuatan makhluk. Keyakinan terhadap kekuatan Tuhan mengakar dalam kebudayaan Indonesia. Konon lagi jika dia seorang muslim yang baik.

Jabariyah

Sebagian yang lain, ada pula kelompok umat Islam yang menyikapi Covid-19 dengan alam pikiran Jabariyah. Menurut satu pendapat,  pemikiran Jabariyah ini telah ada sebelum Islam. Kemudian dipopulerkan kembali oleh Jahm bin Safwan, sekitar tahun 70 H, di Khurasan, Persia. Paham Jabariyah mengajarkan, bahwa perbuatan manusia telah ditetapkan Allah secara azali dalam Qadla dan Qadar.

Segala perbuatan manusia terpasung dalam kehendak Tuhan. Manusia tidak punya pilihan untuk menentukan yang baik atau yang buruk terhadap dirinya, kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Manusia 100% menjalankan skenario Tuhan. Pada tingkat yang lebih ekstrem, manusia yang jahat tidak dapat dihukum, karena dia sudah ditakdirkan untuk menjadi orang jahat. Kebaikan dan kejahatan adalah taqdir Allah atas seseorang.

Mengapa seseorang mencuri? Karena Allah sudah takdirkan dia menjadi seorang pencuri. Allah-lah yang memaksa manusia mengikuti takdir-Nya. Demikian juga dengan kemalangan dan keberuntungan, semua telah ditetapkan oleh Allah atas makhluk-Nya. Manusia ibarat gembala yang tercucuk hidung, dia tidak bebas memilih keinginannya, kecuali mengikuti keinginan sang penggembala.

Kisah Khalifah Umar Bin Khatab

Suatu hari Umar bin Khattab pernah berdialog dengan seorang anak muda yang masuk pasar Madinah. Anak muda ini membiarkan kudanya tanpa mengikatnya. Umar menegurnya dan menyuruh anak muda itu mengikat kudanya agar tidak hilang. Anak muda itu membantah dengan berkata, “jika Allah menhendaki kuda saya hilang pasti hilang, dan jika Allah tidak menghendakinya tentu tidak akan hilang.”

Lalu Umar mengambil pedangnya meletakkan di leher anak itu. Kemudian Umar bertanya, “kamu memilih saya potong lehermu atau tidak saya potong?” Anak itu menjawab, “aku memilih tidak kamu potong.” Kemudian Umar mengatakan, “berarti kamu dapat berikhtiar dari keburukan.” Karena kalah argumen, akhirnya anak muda itu mau mengikat kudanya. Di zaman modern, paham Jabariyah identik dengan Fatalisme, pasrah kepada keadaan. Semua terserah Tuhan dan atas kehendak Tuhan.

Berkaitan dengan Covid-19, cara berpikir Jabariyah ini yang paling banyak di Indonesia. Mereka tidak peduli dengan himbauan ini-itu, yang penting taqdir baik dan buruk semua sudah tertulis di Lauh al-Mahfudh. Siapa yang mati dengan Corona, siapa yang hidup telah ditetapkan Allah.

Setiap orang mukmin tidak pantas takut kepada Corona, kemudian menutup masjid untuk beribadah. Siapa yang menutup masjid untuk beribadah adalah kemunkaran. Allah tidak menurunkan bencana kepada ahli masjid. Setiap hari mereka memposting ayat-ayat Al-Qur’an tentang keutamaan memakmurkan masjid. Misalnya ayat Al-Qur’an,

“Dan siapakah yang lebih aniaya, dari pada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjidnya.” (Al-Baqarah: 114). “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasusuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Taubah: 18).

“Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh.” (Ali Imran: 146). Begitu pula hadits-hadits yang menyatakan ahli masjid tidak akan terkena bala.

Di samping ayat dan hadits sebagai dalil, mereka juga memposting video-vidio di mana orang China di Wuhan, ramai-ramai shalat Jum’at sampai ke jalan, namun tidak satu pun terkena Corona. Begitu pula ceramah-ceramah para Ustadz yang menyatakan, bahwa Covid-19 merupakan tanda hari kiamat sudah dekat. Jangan jauhkan masjid, ayo ramai-ramai berlindung ke masjid. Sepintas, cara berpikir seperti  ini sangat cocok untuk menghilangkan ketakutan masyarakat, seakan-akan tidak ada masalah.

Di Banda Aceh dan Aceh Besar, majelis-majelis zikir terus digalakkan dalam masa munculnya Covid-19 ini. Berzikir beramai-ramai akan dapat menolak Corona, karena berzikir merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama. Kalau pun kita terjangkit Corona karena berzikir dan memakmurkan masjid, lalu kita mati, maka kita mati syahid. Maka tidak heran, bukan hanya masjid, kedai-kedai kopi pun masih dipenuhi kerumunan manusia. Tentu hal ini bukan karena alasan ekonomi, sebab yang nongkrong di warung-warung kopi justru tidak menghasilkan apa pun, kecuali menghabiskan uang.

Dengan demikian, paham Qadariyah hanya melihat masalah wabah Covid-19 semata-mata dari sisi kemanusiaan. Sementara paham Jabariyah hanya melihatnya hanya semata-mata dari sisi ketauhidan. Idealnya musibah Covid-19 ini harus ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi ketauhidan dan sisi kemanusiaan. Dari sisi ketauhidan, semua orang mukmin wajib meyakini setiap apa pun yang terjadi, baik di langit dan di bumi adalah atas izin Allah.

Dalil-dalil

Keyakinan ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya: “Dan jika Allah ingin mendatangkan mudharat (musibah) kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghalanginya kecuali Dia. Dan jika Dia ingin memberikan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-An’am: 17). Ayat yang sama bunyinya juga terdapat dalam Surah Yunus, ayat 107, Ali Imran: 120, An-Nahl: 53. Dalam Surah Al-Baqarah, ayat 102, Allah menyatakan, “Dan mereka (para ahli sihir) itu tidak akan memberi mudharat kepada seorang pun dengan sihirnya, kecuali atas izin Allah.” Terdapat juga dalam Surah Al-Mujadalah, ayat 10, serta ayat-ayat lain dalam berbagai Surah dalam Al-Qur’an.

Oleh karena itu, semua yang terjadi atas diri seseorang termasuk atas diri Nabi dan Rasul, semuanya atas izin Allah. Nabi Ibrahim, tidak mungkin selamat dari amukan api tanpa dikehendaki Allah. Nabi Musa a.s. tidak dapat membelah laut dan mengeluarkan air dari batu tanpa izin Allah. Nabi Isa as, tidak dapat menghidupkan orang mati tanpa izin Allah. Rasulullah s.a.w, juga tidak dapat mengalahkan dan dikalahkan oleh musuh kecuali atas izin Allah.

Beliau juga tidak mungkin bisa bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar, tanpa pertolongan Allah. Demikian pula setiap apa pun yang terjadi di langit dan di bumi, tidak ada yang terlepas dari pengetahuan Allah SWT. “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan (tidak pula) pada dirimu sendiri kecuali telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum kamu diciptakan.” (Al-Hadid: 22).

“Di mana saja kamu berada kematian akan mendapatkanmu, meskipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (An-Nisa: 78). Dari sisi ketauhidan, hidup dan mati tidak ada mengetahui secara pasti, dan di bumi mana dia akan mati, kecuali Allah. Setiap mukmin wajib meyakini bahwa kematian itu ditentukan waktunya bagi setiap orang. Siapa yang akan dimatikan dengan wabah Corona, tidak ada yang mengetahui secara pasti.

Namun di samping sisi pandang ketauhidan, Covid-19 juga harus dilihat dari sisi kemanusiaan. Allah menyuruh manusia berikhtiar untuk tidak menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195). “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka merubah diri mereka sendiri.” (Al-Ra’du: 11). “Dan sesungguhnya Tuhanmu adalah pelindung bagi orang-orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar. Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 110) “Dan barang siapa yang berjihad,maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.” (Al-Ankabut: 6).

Setiap ayat yang mengandung perintah melakukan sesuatu perbuatan, berarti mengandung ikhtiar untuk meraih yang terbaik. Demkian juga ketika Allah melarang sesuatu yang buruk, itu juga mengandung ikhtiar agar seseorang tidak terjerumus ke dalam kondisi yang lebih buruk.

Inilah yang dipraktekkan Umar bin Khattab, ketika beliau membatalkan kunjungan ke negeri Syam, karena di sana sedang terjangkit wabah kolera. Abu Ubaidah Ibnu Jarrah berkata kepada Umar, “Apakah engkau hendak lari dari taqdir Allah?” Umar menjawab, “Ya, kita lari dari taqdir Allah yang buruk kepada taqdir Allah yang baik.” (H.R.Bukhari-Muslim). Dalam hadits lain, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika kalian mendengar wabah Tha’un di suatu tempat maka janganlah memasukinya. Dan jika terjankit di suatu tempat sedang kamu ada di situ, maka janganlah kamu keluar darinya.” (H.R. Bukhari-Muslim).

Pesan yang perlu diambil dari dalil-dali di atas, adanya ikhtiar manusia secara maksimal. Sebab dari sudut pandang kemanusiaan, hukum sebab akibat tetap berlaku pada kondisi apa pun, karena yang demikian merupakan sunnatullah. Maka semua yang bersifat sunnatullah harus dilihat dari sudut pandang Ilmu Fiqh.

Dalam rumus ilmu Fiqh, perbuatan apa pun harus mengandung kemaslahatan, baik bagi individu maupun bagi orang lain. Bisa kondisi tertentu berlaku kaedah Fiqh: “Jalbul mashaalih wa daf’ul mafaasid” (meraih yang mashlahat dan menolak yang merusak). Namun dalam kondisi tertentu pula berlaku kaedah: “Daf’ul mafaasidu aula min al-jalbul mashaalih.” (menolak kemudharatan didahulukan dari pada meraih kemaslahatan). Bisa diilustrasikan, bahwa shalat berjama’ah lima waktu dan shalat taraweh kita lakukan di masjid karena ada maslahat dibangdingkan shalat sendirian.

Namun dalam kondisi penyebaran Covid-19 yang sangat mudah dan mematikan melalui keramaian, maka shalat yang maslahat itu adalah di rumah, sampai wabah tersebut berakhir. Demikian pula dengan shalat Jum’at yang hukumnya wajib. Namun jika cuaca dalam kondisi hujan lebat yang membuat orang sukar ke masjid, menurut ilmu Fiqh seseorang boleh mengganti shalat Jum’at dengan shalat dhuhur di rumah. Namun jika seseorang pergi juga ke masjid saat hujan lebat, bisa dipastikan yang bersangkutan hanya akan basah kuyup, dan basah kena hujan tidak akan mematikannya.

Tetapi agama memberikan rukhsah, karena hujan lebat menjadi uzhur (halangan) bagi seseorang ke Jum’at. Lalu bagaimana dengan penyebaran virus Corona yang sangat mudah dan mematikan? Bukankah lebih besar mudharatnya dari pada hujan? Maka berlakulah kaedah, “Daf’ul mafaasidu aula min al-jalbul mashaalih. (menolak mafsadat/mudharat lebih didahulukan dari pada meraih maslahat). “Allah tidak membebani kamu melebihi kemampuanmu.” (Al-Baqarah: 286 ). “Tidaklah dijadikan agama (Islam) itu untuk menyusahkanmu.”(Al-Hajj: 78). “Allah menghendaki untukmu kemudahan, dan tidak menghendaki kesukaran.” (Al-Baqarah: 185). Allhualam.

 

 

 

Pos terkait