Oleh Mirnani Muniruddin Achmad, S.Pd. I, MA
*) Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) dan Guru MIN 13 Pidie Jaya
Dari zaman “baheula” sampai dengan tahun 2019 sekarang ini, rasanya kita (termasuk saya) sangat antusiasme dan terlihat hirup pikuk dalam mengikuti persaingan dalam memperebutkan posisi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) dalam berbagai instansi pemerintah, bahkan sampai ke ujung pelosokpun akan diikuti asalkan status PNS bisa melekat pada diri kita.
Usut punya usut, tidak bisa dipungkiri bahwa pamor status PNS atau ASN (Aparatur Sipil Negara) masih terkesan eksklusif dan hebat di mata masyarakat. Proses seleksi yang ketat karena peminatnya yang luar biasa banyak, membuat posisi ini terkesan bergengsi. Belum lagi segala macam tunjangan yang diterima semasa bekerja hingga jaminan pensiun yang ditawarkan sangatlah menggiurkan.
Semua berlomba ingin menduduki kursi PNS ini. Yang lebih mirisnya lagi, ada orang yang merasa ingin bunuh diri karena tidak lulus CPNS dan ada juga orang yang menghalalkan berbagai cara agar bisa menjadi PNS. Tentu saja ini menunjukkan bahwa motivasi kita menjadi CPNS terlalu berlebihan sehingga menyita seluruh ambisi kita.
Dan ketika keinginan yang kita idam-idamkan tidak tercapai, maka seakan-akan bumi runtuh dan tak akan ada tempat lagi untuk kita mengais rezeki di bumi Allah ini.
Menjadi PNS masih menjadi sesuatu hal yang konon “katanya” dianggap bisa menjamin kehidupan manusia bagi yang bisa melewati berbagai tahapannya. Padahal Allah SWT telah lama menjamin terhadap rezeki masing-masing hamba-Nya yang ada di muka bumi ini dan tidak mesti dengan menjadi PNS saja.
Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah SWT yang berbunyi: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”. (QS. Hud:6).
Dengan begitu jelasnya Allah telah menjamin rezeki makhluk yang telah DIA ciptakan walau itu hanyalah seekor binatang melata, lalu untuk apa kita merisaukan rezeki kita dan hanya bertumpu pada CPNS saja.
Tidak banyak yang tau, bahwa di balik indahnya bayangan menjadi PNS yang sudah mendarah daging dalam berbagai generasi jauh sebelum tahun 2019 ini, terdapat banyak tanggung jawab terhadap “amanah” pekerjaan yang telah dibebankan kepada kita.
Dengan kata lain, jika menjadi PNS, otomatis kita akan menjadi pelayan masyarakat, jika profesi kita adalah guru, maka yang wajib kita layani adalah murid-murid di sekolah beserta dengan orang tua murid. Tidak boleh sejenakpun kita boleh menelantarkan mereka terhadap hak-hak yang harus mereka dapatkan dari diri kita.
Dan pada akhirnya, profesi ini yang akan menentukan ke arah mana kita akan menuju pada hari akhir nantinya, surgakah atau neraka? Tergantung bagaimana kita cara kita bisa mempertangungjawabkan pekejaan yang telah kita ikrarkan untuk kita laksanakan dengan sepenuh hati.
Namun, jika seandainya apa yang telah kita janjikan tidak kita lakukan dengan baik, tentu saja balasannya adalah neraka Allah, yaitu tempat bagi orang yang mengingkari janjinya. Islam memandang bahwa kewajiban menunaikan janji adalah perkara yang sangat krusial.
Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits: “ Tanda-tanda orang munafik ada tiga : Jika berbicara ia berdusta,jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat ia khianat.” (H.R.Muslim).Dan terkait orang munafik Allah berfirman: “Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka”.(QS. An-Nisa:145). Na’udzubillaah, semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat yang ada pada orang munafik.
Di balik bergejolaknya perekrutan CPNS yang diminati banyak orang, terkadang kita melupakan bahwa PNS bukanlah satu-satunya pekerjaan yang membawa kita kepada jaminan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada banyak jalan lain bagi kita dalam mencari nafkah.
Bumi Allah yang luas telah banyak menyediakan rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Namun, satu yang harus kita ingat dan sudah menjadi sunnah Allah bahwa rezeki tersebut tidak akan dapat didapatkan kecuali oleh orang yang mau bekerja dan berusaha. Dan syariat juga memerintahkan dan mengharuskan manusia agar dia bekerja untuk mencari sendiri rezekinya dengan berbagi pekerjaan yang dihalalkan dalam agama Islam.
Pekerjaan yang kita tekuni apa pun jenis pekerjaan dan profesinya, selama dikerjakan dengan sikap profesional dan tidak melanggar prinsip syariat agama tetap dipandang mulia dan tidak mesti pekerjaan dalam ruang lingkup pemerintahan.
Kita bisa meneladani potret kehidupan para Nabi dan Rasul terdahulu yang bekerja namun tidak pernah memandang hina atau merasa gengsi terhadap pekerjaan mereka. Dalam sebuah riwayat dari Ibn Abbas menceritakan, “Nabi Daud bekerja sebagai tukang besi, Nabi Adam sebagai petani, Nabi Nuh sebagai tukang kayu, Nabi Idris sebagai tukang jahit, dan Nabi Musa sebagai penggembala kambing.” (HR Hakim).
Bahkan Nabi Muhammad SAW sekalipun sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Rasulullah SAW pernah bekerja sebagai penggembala kambing milik penduduk Makkah dan pernah bekerja menjalankan perniagaan milik Siti Khadijah.
Hal ini mengajarkan kita bahwa kita diharuskan bekerja namun tidak harus memilih-milih pekerjaan yang kita inginkan. Karena bekerja bukanlah sebatas kegiatan rutinitas untuk memenuhi nafkah diri dan keluarga, melainkan merupakan sarana bagi kita untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub). Dengan dekat kepada Allah artinya pekerjaan kita juga akan mendekatkan diri kita dengan surga Allah.
Namun, hal ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Segala pekerjaan yang kita lakukan memperhatikan dan mengamalkan prinsip dan etika bekerja dalam Islam. Mulai dari niat misalnya, bekerja hendaklah diniatkan sebagai sarana ibadah kepada Allah SWT, disertai kepribadian yang jujur, amanah, dan sabar dalam bekerja.
Lebih spesifik dan lebih mendalam lagi adalah seorang muslim yang ingin memperoleh surga melalui pekerjaannya tentu saja harus memiliki itqan, yaitu bersungguh-sungguh dan profesional dalam pekerjaannya. Selain itu juga harus bersungguh- sungguh, tekun, disiplin dan kompak. Memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya, sekaligus bertanggung jawab dalam menjabani pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tugasnya dengan baik.
Seperti yang kita ketahui bahwa ibadah yang disyariatkan, seperti zakat, infak, sedekah, wakaf, haji dan umrah semuanya identik dan membutuhkan biaya atau ongkos. Dengan kata lain, semua jenis ibadah itu tak dapat ditunaikan dengan baik dan sempurna, kecuali dengan adanya biaya atau harta.
Dan tentu saja, cara kita dalam memperoleh harta tersebut, bisa saja membawa kita lebih dekat dengan CPNS (Calon Penghuni Neraka ataukah Surga), tergantung bagaimana kita mendapatkan pekerjaan, menjalani dan pertanggungjawaban kita terhadap pekerjaan tersebut. Menyebarlah ke seluruh penjuru bumi dalam mencari kemurahan Allah dengan tidak terpaku pada satu kata yaitu CPNS. Wallahua’lam bisshawab. (*)