Etika dan Norma Ekonomi Islam: Islam dan Keharusan Bekerja

Foto Ilustrasi

Oleh: Aziz Abdurrahman, S.Li

Mahasiswa Pascasarjana INAIS Bogor

Bacaan Lainnya

Bagian Kedua

Bekerja merupakan perintah Allah Ta’ala dan menjadi kewajiban setiap manusia, semenjak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam banyak firman-Nya, Allah Ta’ala memotivasi manusia agar senantiasa bekerja dalam kehidupannya, diantarannya Allah Ta’ala berfirman,

و جعلنا النهار معاشا

“Kami telah menjadikan waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja).” (QS. An-Naba: 11)

Bahkan di dalam ayat lainnya Allah Ta’ala berfirman,

فإذا قضيت الصلواة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله و اذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون

“Maka apabila telah ditunaikan shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Adapun kisah dari orang-orang shalih baik dari para Nabi dan yang lainnya sungguh telah menjadi teladan bagi siapapun, Nabi Daud ‘Alaihissalam tidak makan melainkan dari hasil jerih payah kerja tangan beliau sendiri, Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu, dan Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah seorang pedagang.

Pekerjaan pada masa awal Islam yang familiar ada dua jenis, yaitu pedagang dan tukang kebun. Hal ini didasari pada letak geografis dua kota suci umat Islam, yaitu Mekkah dan Madinah. Kota Mekkah yang terkenal sebagai kota metropolitan biasa menjadi tempat singgah para jama’ah haji dari berbagai negeri sehingga perdagangan menjadi pekerjaan yang amat menguntungkan, adapun kota Madinah disebabkan karena daerahnya yang subur, maka kebanyakan penduduknya bekerja sebagai tukang kebun, dan biasanya kebun yang mereka miliki adalah kebun kurma.

Oleh karena itu jika kita membuka kitab-kitab hadits maka dua pekerjaan itu yang sering disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya adalah pujian Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasaallam kepada pedagang yang jujur dan amanah. Dalam haditsnya beliau bersabda,

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين و الصديقين  و الشهداء يوم القيامة

“Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para Nabi, orang-oran Shiddiq, dan para Syuhada pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Sedangkan untuk mereka yang bekerja di ladang dan perkebunan, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة

“Tidaklah seorang muslim yang menanam satu tanaman atau menyemai satu semaian lalu (buahnya) dimakan oleh burung atau manusia atau binatang lainnya, maka ia dihitung sebagai sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun sesuai dengan berkembangnya zaman, tentu jenis-jenis pekerjaan sudah semakin bervariasi, misalnya saja ketika pasa kekhilafahan Islam ada yang bekerja untuk negara dengan berbagai jenis pekerjaan, misalnya angkatan bersenjata, juru tulis, bendahara dan lain sebagainya. Secara spesifik misalnya pada masa Khilafah Abbasiyah, ketika pendirian Baitul Hikmah telah dirampungkan, maka di dalam perpustakaan terbesar itu ada beberapa ilmuwan yang bekerja sebagai penerjemah buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, khususnya ilmu-ilmu umum, seperti kimia, biologi dan yang lainnya.

Sehingga pandangan seorang muslim akan pekerjaan tidak boleh sempit hanya dengan mengacu di zaman Nabi saja. Karena bekerja itu adalah perkara duniawi, sedangkan dalam kaidah ushul fikih disebutkan bahwa asal dalam masalah keduniaan/mu’amalah adalah halal, sampai ada dalil yang melarangnya. Jika kita lihat pada masa kini, jenis pekerjaan jauh lebih beragam, sebut saja misalnya jasa transportasi online (baik untuk mengangkut orang atau barang) jasa membuat konten kreatif (sebagai iklan) dan juga beberapa jenis pekerjaan lainnya.  Namun tetap harus menjadi perhatian kita sebagai umat Islam untuk berpedoman kepada koridor syariah, jangan sampai kemudian kita termakan oleh omongan sebagian orang yang mengatakan bahwa zaman sekarang mencari rizki yang haram saja sulit, apalagi yang halal. Tentu perkataan tersebut tidak akan keluar dari lisan orang yang beriman.

Lalu apa saja tujuan dari diharuskannya bekerja dalam pandangan islam? Dalam hal ini Dr. Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Daur Al-Qiyam Wal Akhlak Fil Iqtishad Al-Islami menjelaskan beberapa poin untuk menjawab pertanyaan diatas, diantaranya;

  1. Untuk Mencukupi Kebutuhan Hidup

Berdasarkan ajaran syariat, seorang muslim diminta bekerja untuk mencapai beberapa tujuan. Yang pertama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang halal, mencegahnya dari kehinaan meminta-minta, dan menjaga tangannya agar tetap berada di atas. Islam melarang umatnya untuk mengemis dan meminta-minta serta berharap belas kasihan.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang yang berangkat ke gunung, membawa talinya, lalu memikul seikat kayu bakar di atas punggungnya, lalu dijualnya, yang dengannya Allah menjaga wajahnya, adalah jauh lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada oran lain, yang bisa diberi atau ditolak”.

  1. Untuk Kemaslahatan Keluarga.

Bekerja diwajibkan demi terwujudnya keluarga sejahtera. Islam mensyariatkan seluruh manusia untuk bekerja, baik laki-laki ataupun wanita sesuai dengan profesinya masing-masing. Seorang wanita ia bisa bekerja di rumahnya, untuk medidik anak-anaknya serta menjaga harta suaminya, ataupun bisa ia bekerja di luar rumahnya dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syariah.

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata, “Nabi mendatangi seorang laki-laki dan para sahabat melihat bahwa orang itu sangat tekun dan bersemangat. Lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah bekerjanya orang tersebut fi sabilillah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab; “Jika ia berusaha untuk kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil maka itu fi sabilillah, jika ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya yang telah renta maka itu fi sabilillah, jika untuk kehormatan dirinya maka ia fi sabilillah. Para sahabat kembali bertanya, kalau ia bekerja demi mencukupkan kebutuhan dirinya? Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Pekerjaan itu juga fi sabilillah. Tapi jika ia bekerja untuk kesombongan atau riya, maka itu adalah fi sabili asy-syaithan.” (HR. Thabrani)

Sangat jelas bagi kita penjelasan dari hadits di atas bahwa seluruh jenis pekerjaan yang halal adalah bagian dari jihad di jalan Allah, yang dikecualikan adalah pekerjaan yang dapat menyombongkan pemiliknya dan mengakibatkan riya. Maka haruslah kita berhati-hati dalam hal ini, karena beberapa jenis pekerjaan pada zaman sekarang amat sangat berpotensi untuk menjadikan pemiliknya bersikap sombong, misalnya orang-orang yang bekerja sebagai aparatur sipil negara, yang setiap harinya ada baju khusus yang mereka pakai, atau para pejabat yang difasilitasi mobil dan rumah mewah oleh negara. Semoga kita dijauhkan dari sifat sombong ini.

  1. Untuk Kemaslahatan Masyarakat

Meskipun seseorang tidak lagi membutuhkan pekerjaan karena seluruh kebutuhan hidupnya telah tercukupi ia tetaplah harus bekerja, baik untuk dirinya ataupun masyarakat sekitar. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa Abu Darda yang saat itu sudah sangat tua sedang menanam pohon kenari, kemudian ditanya oleh orang yang melihatnya, “untuk apa engkau menanamnya, ia tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lagi?” Abu Darda menjawab, “Alangkah senangnya aku karena akan mendapatkan pahala darinya, karena orang lain yang akan memakan hasilnya.”

Kisah sahabat Abu Darda di atas menjadi pelajaran bagi kita bahwa meskipun kita sudah memasuki usia pensiun, namun tidak boleh hanya duduk berpangku tangan. Apa saja yang bisa dikerjakan, maka kita kerjakan, bisa menulis, memberikan ceramah motivasi untuk kaum muda, serta ikut dalam aktivitas sosial lainnya yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar kita.

Pada akhirnya kita semua sangat berharap menjadi hamba yang dicintai oleh Allah, dan dalam sebuah haditsnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

إن الله يحب إذا عمل أحدكم أن يتقنه

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang apabila ia bekerja secara profesional.” (HR. Baihaqi)

[][][]

Pos terkait