Oleh: Mahfud Hidayat
Penyuluh Agama Islam Non PNS KUA Bogor Barat
Menghadapi masalah merupakan bagian dari kehidupan. Beberapa orang memilih kabur dari masalah agar hidupnya nyaman. Padahal dalam kenyamanannya pun ia pasti akan berhadapan dengan masalah lainnya. Ada pula orang yang mendidik dirinya dengan masalah. Ia bertambah dewasa dan lebih arif dan bijaksana dengan masalah yang dihadapinya. Baginya hidup adalah perjuangan yang harus terus menerus dijalani dengan sebaik-baiknya.
Seorang pebisnis sibuk mengurus bisnisnya. Ia berusaha agar meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika usahanya terombang-ambing oleh suatu masalah, ia akan berusaha minimal modalnya utuh tidak tergerus oleh permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya ia kembali memperbaiki manajemen bisnisnya untuk kembali eksis dan memperoleh laba yang diharapkan.
Ada pula yang sangat nyaman dengan bisnisnya. Ia terlena dengan kemapanan. Merasa tidak ada masalah, tanpa disadari di sekelilingnya terdapat banyak ancaman yang siap menghancurkannya. Begitu sadar, bisnisnya sudah ambruk dan luluh lantak tidak tersisa.
Seorang politikus pun sibuk menggaet masyarakat agar bersedia memilihnya. Saat berkampanye, puluhan milyar bahkan triliunan digelontorkan untuk mencapai ambisinya. Partai politik yang mengusungnya tidak kalah menebar program-program kerakyatan untuk memikat hati rakyat. Mereka menargetkan suara sesuai jumlah yang diinginkan. Namun jika tidak terpilih, banyak diantaranya mengalami depresi dan stres. Karena tujuan mereka bukan untuk rakyat, melainkan untuk dirinya sendiri dan golongannya. Kekalahan yang dialami oleh mereka akan menyakitkan ketika jabatannya hilang dan harta kekayaannya pun melayang.
Masih banyak lagi realitas kehidupan yang menunjukkan seseorang terlihat kecewa ketika hasrat duniawi yang dicita-citakannya tidak kesampaian. Ia ‘gigit jari’ karena tidak mendapatkan apa-apa dari usahanya. Sebab kejayaan dan kemapanan dunia yang diharapkan, namun keterpurukan yang menjadi kenyataan.
Memang pahit menerima kekalahan, keterpurukan, dan bahkan kebangkrutan ketika menjalani hidup ini. Namun akan lebih pahit dan mengerikan ketika kesulitan di dunia terbawa sampai akhirat. Sebab masalah dan musibah di akhirat akan lebih dahsyat daripada dunia. Sebagai gambaran adalah Hadis dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini.
Suatu ketika Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepada para sahabat: “Apakah kalian mengetahui siapakah orang yang bangkrut itu?” Mereka menjawab, ”Orang yang bangkrut itu adalah orang yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Dalam pandangan mereka, kebangkrutan yang dimaksud adalah ketika di dunia. Padahal yang dimaksud oleh beliau adalah kebangkrutan di akhirat.
Selanjutnya beliau meluruskan: “Orang yang bangkrut dari umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa dan zakat. Namun ketika di dunia dia telah mencaci kehormatan orang ini, menuduh orang itu, makan harta yang lain secara zalim, dan membunuh serta memukul orang lain (tanpa alasan yang benar). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka.”
Semoga kita termasuk orang yang jaya di dunia dan bahagia di akhirat. Atau minimal kita tidak terlena dengan gelimang target dunia. Sebab dalam Surat Ad Duha ayat empat bahwa akhirat lebih utama daripada dunia. Karenanya saat berhadapan dengan masalah dunia dan ditakdirkan kalah dan sengsara, bagi kita tentunya masih ada harapan bahagia di akhirat kelak dengan iman, amal saleh dan perbuatan baik kita kepada sesama.
Jangan sampai saat di dunia gigit jari karena usaha ambruk dan jatuh terpuruk. Berikutnya di akhirat jatuh tersungkur dan sengsara karena dulunya berbuat zalim kepada sesama. Atau ketika di dunia ia memang jaya, namun di akhirat ia sengsara karena perbuatannya yang melenceng dari rel agama.
Kekecewaan karena hilangnya dunia itu tidak seberapa daripada kehilangan akhiratnya. Sebab kerugian di akhirat berdampak pada kesengsaraan yang berkepanjangan. Dan inilah gigit jari yang paling mengerikan. Menanam selama di dunia, di akhirat berbuah celaka. Na’udzu billah. Wallahu a’lam. []