Barometernews.id | Banda Aceh, – Bumi terdiri dari banyak kehidupan. Semuanya berjalan dalam hubungan yang kompleks dan saling bergantung. Semuanya butuh keseimbangan untuk tumbuh. Untuk mempertahankan keturunan. Ini tidak hanya berlaku di dunia manusia. Satwa liar juga butuh sebuah sistem yang seimbang.
Dalam kitab suci, Allah SWT menyatakan banyak hal tentang pentingnya peran manusia dalam menjaga keharmonisan alam. Alam, manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya saling berkaitan dan saling membutuhkan.
Tentu saja peran ini berada di tangan manusia sebagai khalifah. Pemimpin di muka bumi. Amanah ini pernah disampaikan kepada makhluk lain, namun tak ada yang berani mengemban tugas tersebut. Karena sadar tugas ini teramat berat untuk dijalankan. “Maka, (amanah) ini dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh,” (QS. Al Ahzab: 72).
Lantas, saat seekor harimau memakan manusia di perkampungan, ini dianggap sebagai sebuah ancaman. Padahal, dengan akal pikiran yang diberikan Allah SWT kepada manusia, seharusnya manusia dapat memahami bahwa hal ini didorong oleh ketidak adanya keseimbangan Alam.
Walaupun harimau itu binatang buas dan bisa menerkam manusia, tapi manusia bukanlah objek makanan harimau. Bahkan dengan label sebagai predator yang mengontrol populasi hewan di hutan, harimau juga memiliki etika. Di antaranya adalah dengan tidak menjadikan manusia sebagai mangsanya.
Harimau memahami dan memiliki norma tersendiri, siapa atau apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Harimau hanya memangsa kambing hutan, rusa dan hewan lain. Dan saat harimau masuk ke perkampungan dan menerkam ternak manusia, itu hanya karena habitat dan pasokan makanannya terganggu.
Manusia harusnya menyadari bahwa hak untuk marah dan bertahan hidup bukan hanya milik mereka. Harimau juga bisa marah jika habitat dan sumber makanannya menghilang. Rangkaian penyerangan harimau terhadap manusia atau ternak mereka hanyalah dampak dari tidak adanya keseimbangan itu. Saat terjadi gangguan, maka akan terjadi respons. Ini semua adalah hubungan sebab – akibat.
Harimau adalah hewan penting bagi manusia yang hidup di alam liar. Syahdan, pada suatu ketika di India populasi kijang dan rusa bertambah secara drastis. Dan ini menjadi masalah besar di India. Meningkatnya jumlah hewan tersebut dikarenakan ketiadaan harimau yang seharusnya memangsa satwa-satwa tersebut.
Di beberapa daerah di Sumatera Barat, sering muncul babi hutan yang mengganggu dan merusak tanaman warga. Untuk mengatasinya, masyarakat memburu babi hutan. Mereka menggunakan anjing sebagai pemandu. Kegiatan ini melibatkan banyak orang di satu komunitas atau kampung. Sayang, dalam sekali perburuan, babi yang berhasil diburu hanya satu ekor.
Padahal dalam tiga bulan, babi melahirkan hingga 12 ekor. Aktivitas berburu ini pun hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Jelas upaya ini tak lebih seperti menabur bijan ke tasik. Di Aceh, beberapa petani dan pemilik kebun juga mengalami hal yang sama. Bahkan banyak di antara mereka memagari areal sawah atau perkebunannya dengan kawat berlistrik.
Semua itu dilakukan karena mereka tak mampu mengatasi babi hutan yang memporak-porandakan tanaman mereka. Padahal “tugas” mengontrol populasi babi hutan ini dibebankan ke pundak harimau. Bantuan harimau ini tak pernah disadari dan dipahami secara sungguh – sungguh oleh manusia.
Sebagai manusia selayaknya dapat menjaga alam lewat akal yang dimilikinya. Saat ada orang yang merusak alam dan membunuh harimau, tentu kita berhak menanyakan apakah orang tersebut manusia. karena merekalah yang bertanggung jawab atas kematian satwa ini, yang diperkirakan hanya tinggal 604 ekor di hutan Sumatera.
Padahal harimau adalah “penduduk asli” hutan-hutan yang terbentang dari Aceh hingga Lampung. Harimau adalah lambang kekuatan bagi orang Sumatera. Dalam budaya Minangkabau, harimau menjadi simbol yang digunakan dan dipakai dalam berbagai kegiatan dan ritual.
Dalam budaya pencak silat misalnya, nama harimau disematkan sebagai simbol keperkasaan. Harimau Kuraji, Harimau Pasaman, Harimau Solok dan banyak lagi. Ini adalah apresiasi budaya Minangkabau terhadap Harimau Sumatera. Bahkan Kabupaten Agam, salah satu kabupaten di Sumatera Barat, memakai simbol harimau sebagai lambang daerah. Masyarakat Minangkabau menyebut harimau dengan inyiak. Ini merupakan sebuah bentuk penghormatan orang minang terhadap harimau.
Manusia yang telah memulai konflik dengan harimau harus berpikir untuk berdamai. Sederhana saja, Harimau itu kawan, bukan teroris ! [Red/Azhar/Disarikan dari Ajnn.net]