Kebijakan Jokowi Sering Berubah, Inkonsistensikah Hadapi Corona ?

Foto by Gelora.co

Oleh Cut Ricky Firsta Rijaya
Mahasiswa Unmuha Aceh

Wabah virus corona atau Covid-19 kini membuat pemerintah pusat berjibaku meminimalisir penularan di Indonesia. Pekan pertama bulan Februari 2020, tepatnya saat membuka sidang kabinet di Istana Bogor, Presiden Joko Widodo sejatinya sempat melontarkan keyakinannya bahwa virus yang telah menyebar ke beberapa negara itu tak akan masuk ke Indonesia.

Bacaan Lainnya

Keyakinan itu sukses membuat sebagian masyarakat tenang akan virus yang asalnya masih jadi teka-teki ini.

Namun hal itu tak berselang lama. Klaim pemerintah terpatahkan usai dua warga Depok, yang belakangan akhirnya jadi polemik karena pengungkapan identitasnya, dinyatakan positif terjangkit virus corona.

Setelah dua warga dinyatakan positif, yang kemudian dinamakan kasus 01 dan kasus 02, publik geger, persediaan masker di pasaran tiba-tiba lenyap, kalaupun ada harus ditebus dengan harga selangit.

Masker N95, yang terkenal ampuh menyaring virus dibanderol rata-rata Rp 1,6 juta per boks. Padahal normalnya berkisar Rp 190-an ribu perboks di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Panic buying tak terelakkan.

Kini, Presiden Joko Widodo terkesan inkonsisten dalam menangani wabah yang belum menemukan obat mujarabnya ini. Sepekan belakangan ini, pemerintah pusat menyampaikan statemen yang berbeda.

Presiden Joko Widodo dengan tegas menyatakan tak perlu membentuk satuan tugas (Satgas) khusus untuk penanganan virus corona lantaran sudah memiliki satgas atau task force yang dipimpin dirinya sendiri, Jumat lalu (13/3).

“Sejak awal saya sampaikan, organisasi task force ini sudah ada dan saya komandani sendiri,” begitu kata Presiden Jokowi di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.

Seiring perkembangan, jumlah pasien positif corona di Indonesia bertambah. Terhitung Senin (16/3) pukul 11.30 WIB, jumlah positif corona mencapai 134 orang, 5 di antaranya meninggal dunia.

Presiden Jokowi kemudian memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk menentukan status bencana di daerah masing-masing. Tentunya dengan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Saya minta kepada seluruh gubernur, kepada seluruh bupati, kepada seluruh wali kota untuk terus memonitor dan berkonsultasi dengan pakar medis dalam menelaah setiap situasi yang ada untuk menentukan status daerahnya,” kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3).

Tak berselang lama, sejumlah kepala daerah pun mengeluarkan beragam instruksi, seperti di Aceh, Jambi, dan Nusa Tenggara Barat yang meliburkan kegiatan belajar mengajar untuk mengantisipsi penyebaran corona.

Langkah serupa juga dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jawa Tengah dengan merumahkan siswa dan mengimbau warganya untuk berkegiatan di luar rumah dan menghindari keramaian.

Opsi lockdown pun makin ramai disuarakan sejumlah pihak. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan salah satu kepala daerah yang mempertimbangkan opsi tersebut jika masyarakat tak mengindahkan imbauan untuk menghindari keramaian. Hal itu semata-mata agar penyebaran virus corona tak makin meluas.

Namun seiring bisingnya desakan lockdown, Presiden Jokowi kembali mengubah haluan. Yang semula mempersilakan kepala daerah menentukan status bencana di daerahnya masing-masing, mantan Gubernur DKI Jakarta itu melarang kepala daerah memberlakukan lockdown.

Ia beralasan, kebijakan tersebut merupakan wewenang pemerintah pusat.

Untuk saat ini, kata Jokowi, yang terpenting adalah mengimbau masyarakat untuk mengurangi kerumunan, mengurangi mobilitas orang, dan menjaga jarak. Diketahui, per Senin (16/3), pasien yang dinyatakan positif virus corona di Indonesia sebanyak 134 kasus., seperti dikutip dari Gelora.co.

Teranyar pada Senin, (16/3). Kebijakan lockdown, baik di tingkat nasional dan tingkat daerah adalah kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan ini tak boleh diambil oleh Pemda dan tak ada kita (pemerintah pusat) berpikiran untuk kebijakan lockdown,” tegas Jokowi dalam jumpa pers di Istana Bogor. Nah!

 

Pos terkait