Oleh: Dr. Ir. Sintha Wahjusaputri, M.M
Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)
Masuknya era revolusi industri 4.0 pada saat ini dengan karakteristik teknologi menggunakan Kecerdasan Artifisial (Artificial Intellegence) telah mengubah banyak aspek kehidupan. Perkembangan ini menuntut penyesuaian yang mendasar bagi pendidikan di Indonesia saat ini. Berdasarkan Indeks Pendidikan yang diterbitkan oleh Human Development Reports, Indonesia menduduki peringkat tujuh ASEAN pada tahun 2017 dengan skor 0.622. Singapura meraih skor tertinggi yaitu 0,832. Malaysia di urutan kedua dengan skor 0.719, kemudian diikuti oleh Brunei Darussalam dengan skor 0.70. Di tempat ke empat adalah Thailand dan Filipina, keduanya 0,661. Kondisi ini mempengaruhi daya saing ekonomi di kawasan ASEAN yang masih tertinggal dari Singapura dan Vietnam.
Melalui kebijakan TAUT dan SESUAI (Link and Match), Perguruan Tinggi di Indonesia tidak dapat jalan sendiri, namun harus terus menerus melakukan upaya berkelanjutan dalam menjamin adanya kesesuaian antar supply and demand lulusan dengan yang dibutuhkan oleh pihak dunia usaha dan industry (DU-DI). Kebijakan ini semakin penting, berdasarkan World Economic Forum 2020, mengumumkan jenis pekerjaan yang akan berkurang atau tergantikan dan jenis pekerjaan yang baru, terdapat 97 juta orang yang dibutuhkan untuk mengisi jenis pekerjaan baru dan di sisi lain akan ada 85 juta orang yang pekerjaan digantikan oleh mesin pintar (intelligent machine). Akibat dari kondisi tersebut, salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah sumber daya manusia dan inovasi lingkungan belajar berbasis teknologi, yaitu teknologi kecerdasan artifisial. Teknologi kecerdasan artifisial merupakan mesin pintar (intelligent machine) yang dapat diterapkan pada dunia pendidikan, menumbuhkan minat belajar, berkreatif dan inovatif sehingga meningkatkan talenta (bakat) mahasiswa Perguruan Tinggi di Indonesia.
Permasalahan yang menjadi isu-isu tantangan pada model pembelajaran berbasis kecerdasan artifisial (artificial intelligence) pada Perguruan Tinggi di Indonesia adalah:
- Tenaga Kerja, mahasiswa dan dosen belum teredukasi dengan baik oleh pengetahuan dan pembelajaran kecerdasan artifisial
- Pengembangan materi ajar/kurikulum masih kurang mendorong kompetensi talenta di bidang kecerdasan artifisial, diperlukan materi ajar untuk menjadi lulusan siap pakai, wirausahawan dan peneliti sesuai bakat dan kebutuhan dimasa depan
- Digitalisasi/infrastruktur yang belum memadai di perguruan tinggi (khususnya Perguruan Tinggi Swasta), dikarenakan tingginya biaya program pengolahan data berbasis kecerdasan artifisial (machine learning dan deep learning)
- Kolaborasi Industri-Perguruan Tinggi/Lembaga Riset, Pemerintah dan komunitas serta media sosial harapannya mahasiswa memiliki keterampilan enterpreneurship
- Penyediaan data latih kurang difasilitasi oleh Perguruan Tinggi, salah satunya faktor pendanaan dan infrastruktur. Data latih merupakan komponen penting dalam pembelajaran kecerdasan artifisial dari berbagai jenis media serta berbagai use case yang relevan untuk mengasah keterampilan talenta kecerdasan artifisial mahasiwa Perguruan Tinggi.
- Regulasi/kebijakan Perguruan Tinggi yang belum sepenuhnya mendukung dalam pembelajaran berbasis kecerdasan artifisial.
Teknologi kecerdasan artifisial dalam pengembangan model pembelajaran akan diarahkan untuk meningkatkan talenta mahasiswa pendidikan tinggi berdaya saing dengan empat pilar strategi, yaitu:
Strategi pertama, Membentuk Mahasiswa yang Beretika, dengan mewujudkan kecerdasan artifisial yang beretika sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
Strategi kedua, Pengembangan Talenta Kecerdasan Artifisial, menyiapkan Mahasiswa Bertalenta Kecerdasan Artifisial berdaya saing dan berkarakter.
Strategi ketiga, Infrastruktur dan Data Kecerdasan Aritifisial, mewujudkan data dan infrastruktur yang mendukung kontribusi pembelajaran berbasis kecerdasan artifisial bagi Perguruan Tinggi berkolaborasi dengan pihak industry.
Strategi keempat, Inovasi Kecerdasan Artifisial, mewujudkan ekosistem data dan infrastruktur yang mendukung kontribusi kecerdasan artifisial untuk kepentingan mahasiswa dan dosen serta tenaga kependidikan lainnya.
Sejak masa pandemi covid-19 hingga adaptasi kenormalan baru, seluruh model pembelajaran di lakukan melalui Daring (online learning system), sebagai contoh, hasil survei yang dilakukan oleh penulis kepada 100 mahasiswa UHAMKA dan Universitas Pancasila yang terdiri dari 67% pria, 33% wanita, menyatakan fakta yang sangat mengejutkan bahwa pasca pandemic-19, yaitu bahwa 87% mahasiswa lebih menyukai pembelajaran tatap muka, dikarenakan: pengalaman baru, tidak perlu ke kampus, fleksibilitas dan suasana yang rileks, waktu lebih efisien, materi lebih terdokumentasi, lebih berani bertanya. Mahasiswa dengan jumlah yang cukup signifikan (total akumulatif 55%) menyatakan buruknya proses pembelajaran daring karena ketidaksiapan dosen dalam memberikan kuliah daring yang ditunjukkan dalam pemberian tugas yang berlebihan, penggantian kuliah dengan tugas, dosen yang kurang interaktif dalam menyampaikan materi, maupun penggantian jadwal mata kuliah.
Model Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Artifisial yang dapat diterapkan di Perguruan Tinggi menurut penulis sebagai berikut:
Orientasi pengembangan talenta kecerdasan artifisial akan diarahkan pada pengembangan talenta untuk pengembangan produk, penciptaan produk baru dan wirausahawan (penciptaan industri baru). Untuk mencapai kompetensi tertentu (standar kompetensi), pengembangan talenta kecerdasan artifisial membutuhkan ekosistem yang dapat mendukung proses pembelajaran dan proses inovasi. Pembentukan ekosistem tersebut membutuhkan kerjasama berbagai pihak, kolaborasi Quad Helix yang melibatkan akademisi, bisnis, pemerintah dan komunitas (ABCG). Persyaratan ekosistem tersebut adalah mampu untuk: (1) mendukung pendidikan untuk menghasilkan talenta mahasiswa dan wirausahawan; (2) mendukung tumbuhnya produk dan penciptaan produk baru; serta (3) menyediakan sumber daya finansial, sarana dan prasarana, termasuk perangkat, alat bantu maupun data yang dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi talenta di bidang Kecerdasan Artifisial. Ekosistem tersebut diharapkan akan mampu menghasilkan talenta berkompeten, yang nantinya akan mendukung terjadinya siklus dalam ekosistem secara berkelanjutan. Dalam penciptaan ekosistem belajar dan ekosistem inovasi ini dimulai dengan proses membentuk entitas awal sebagai motor penggerak ekosistem. Menyiapkan proses manajemen dan keuangan menjadi faktor awal yang utama, sehingga entitas ekosistem diharapkan dapat dimulai dari menyatukan pemerintah dan industry.
Kesimpulan
Kecerdasan artifisial (artificial intelligence) sebagai peralatan teknologi dalam pembelajaran merupakan solusi untuk memperluas cakupan dan jangkauan layanan pendidikan berkualitas tinggi, untuk menghasilkan konten yang disesuaikan kebutuhan pembelajaran dan pengalaman mahasiswa dalam belajar. Pencapaian kesuksesan pembelajaran Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence) terdiri dari 4 (empat) dimensi, yaitu input, proses, output, dan outcome. Dimensi Input meliputi komponen seperti mahasiswa, dosen, organisasi, dan infrastruktur yang siap mengadopsi model pembelajaran berbasis Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence). Dimensi proses mencakup unsur-unsur yang mempengaruhi pengoperasian sistem model pembelajaran berbasis Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence) serta fungsionalitas yang disediakan oleh model pembelajaran. Dimensi Output mencakup karakteristik yang dapat diukur secara langsung serta umpan balik proses. Terakhir, ada outcome, yang terdiri dari prediksi output dari model pembelajaran berbasis Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence). Untuk menghadapi peluang dan tantangan tersebut di atas, perguruan tinggi di Indonesia memerlukan penyusunan sebuah strategi kecerdasan artifisial dengan memperhatikan dan memperhitungkan isu-isu yang ada di strategi kecerdasan Artifisial negara-negara lain baik global maupun regional. [jbm]