Barometernews.id | Pontianak, – Kelompok Kerja (Pokja) Rumah Demokrasi menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Merawat Menjaga Kerukunan Umat Beragama, Tanpa Politisasi SARA dalam Pilkada Serentak 2020 di Kalimantan Barat, Kamis (01/10) di Hotel G Kota Pontianak.
Ketua FKUB Kalbar, Ismail Ruslan berharap peserta Pilkada tidak menggunakan isu Agama dan Etnis, untuk mempengaruhi konstituennya memilih para calon.
“Kami mengimbau bahwa politisasi SARA berbahaya dalam konteks Kalbar, gunakan visi dan misi serta program kerja untuk meraih simpati dan suara-suara dari masyarakat,” Jelasnya.
Dia mengakui saat ini FKUB Kalbar belum memiliki data tentang potensi penggunaan isu sara dan etnis dilapangan, namun berkaca dari Pilkada 2018 potensi tersebut ada.
“Mudah-mudahan 2020 ini potensi itu tidak ada,” Jelasnya.
Sekalipun tengah Pandemi Covid-19 yang menyebabkan pertemuan-pertemuan secara fisik terbatas. Namun FKUB Kalbar terus berinovasi dalam menyampaikan pesan damai kepada masyarakat.
“FKUB Kalbar memformulasikan pesan kerukunan dalam bentuk media online, kita bekerjasama dengan MUI, PGWI, dan lainnya melakukan rekaman untuk menyampaikan pandangan agama tentang kerukunan di Kalbar, itu bisa diakses website kami, semua rekaman sudah ada situ,” Tutupnya.
Penggiat Pokja Rumah Demokrasi, Maryadi mengatakan kegiatan tersebut dihadiri oleh FKUB, KPU, Bawaslu serta tokoh lintas Agama dan Etnis di Kalimantan Barat. Dia menjelaskan FGD tersebut merupakan bentuk early warning system dalam pelaksanaan pilkada.
“Mengingat setiap momentum hajatan pesta demokrasi baik pemilu maupun pilkada selalu dihiasi dengan dengan politisasi SARA, tidak menutup kemungkinan di pilkada 7 kabupaten di kalimantan barat yang akan berlangsung pada 9 desember 2020,” Jelas Mariyadi.
Kata Maryadi Politisasi SARA harus menjadi perhatian kita bersama, dimana dia menilai politisasi SARA ini merupakan penyakit yang menggerogoti prinsip-prinsip berdemokrasi dalam pilkada.
Menurut dia demokrasi dan kerukunan antar umat beragama merupakan dua sisi mata uang, meskipun berbeda, namun keduanya tidak bisa dipisahkan. Dimana Agama akan menjadi media yang baik untuk memberikan pemahaman tentang demokrasi. Disisi lain agama juga tidak jarang dijadikan alat provokasi dan bahkan justifikasi.
“Maka dari itu, perlu di sadari juga bahwa, dampak negatif dari politisasi SARA selain berpotensi menciptakan konflik namun juga bisa mengakibatkan proses menghambat percepatan proses pembangunan. Mengingat politisasi SARA juga mempengaruhi perilaku politik masyarakat secara luas,” Jelasnya.
Maryadi mengatuhi sudah selayaknya semua pihak harus bersikap untuk menolak politisasi SARA. Agar kita bisa memberikan pembelajaran untuk daerah lain, bahwa kemajemukan dan keberagaman merupakan keindahan yang dimiliki indonesia.
“Sebagai upaya kita bersama dalam menyikapi berbagai persoalan pilkada untuk saling mengingatkan dan meluruskan agar persatuan dan kesatuan tetap terjaga didalam menjalankan demokrasi,” Jelasnya.
Komisioner Bawaslu Kalbar Bawaslu, Faisal Riza mengatakan Politisasi SARA mempunyai makna luas, akan tetapi prinsipnya tidak boleh menghina orang atau mendiskreditkan orang karena Suku, Agama, Ras, atau golongan tertentu. Karena SARA itu sesuatu yang melekat dalam diri manusia.
“Jadi pilihan politik mestinya bukan karena tidak harus berpengaruh pada aspek atau perbedaan SARA itu. Jadi tidak boleh ribut oleh perbedaan sara itu,” Jelasnya.
Kata dia dalam konteks penegak hukum keadilan pemilu, Bawaslu Kalbar berlandaskan pada regulasi, misalnya tidak boleh menghina calon kemudian tidak boleh mendiskreditkan calon atau peserta tertentu. Dimana jika itu terjadi, maka akan berhadapan dengan Perbawaslu.
Hanya saja dia mengajak masyarakat untuk terlibat mengawasi jalannya Pilkada 2020, termasuk di medsos yang biasanya diramaikan ribuan akun pendukung peserta maupun akun anonim.
“Saya kira disitu pastisipasi masyarakat untuk bersama-sama melakukan pengawasan. Kita harus sama-sama mengajak masyarakat lebih luas, mari kita sadar diri terhadap informasi yang beredar seperti hoax ujaran kebencian dan sebagainya, termasuk tidak ikut-ikutan menyebar informasi yang belum pasti. Kemudian mengajak yang lain agar tidak terprovokasi pada hal-hal yang sifatnya Politisasi sara,” Tutupnya. [Khot]