“Untuk itu, setiap tahunnya para pejabat maupun penyelenggara negara wajib mengirimkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Melalui LHKPN ini dapat mendorong peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih, karena LHKPN adalah instrumen untuk mengetahui rekam jejak penyelenggara negara, pengawasan terhadap penyelenggaraan negara, dan edukasi bagi masyarakat tentang integritas dan transparansi,” kata Ghufron.
Ghufron juga menjelaskan, kewajiban lain yang menyertai LHKPN adalah mengumumkan harta kekayaan dan bersedia dilakukan pemeriksaan terhadap harta kekayaan penyelenggara negara. Proses pemeriksaan dilakukan untuk menelusuri ketidakwajaran harta kekayaan yang dilaporkan penyelenggara negara.
Lebih lanjut, Ghufron menyampaikan pengaturan kekayaan yang tidak wajar dapat menjadi refleksi kenyataan banyaknya pejabat publik yang mempunyai kekayaan yang diluar logika pendapatan sahnya. Mengingat mereka adalah pejabat publik yang mempunyai aset melebihi dari logika gaji bulanan serta pendapatan lain dari negara.
“Tidak wajar bisa kita lihat dari besaran nilainya, sangat kecil untuk profil jabatan tertentu atau bisa jadi sangat besar untuk profil jabatan tertentu. Pada intinya tidak cocok antara profil jabatan tersebut, itu bias menjadi salah satu alasan KPK untuk bisa lakukan klarifikasi,” jelas Ghufron.
Oleh karenanya, upaya-upaya dalam mengatur kekayaan yang tidak wajar (Illicit Enrichment) ini menjadi salah satu bentuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003.
“Pengaturan tentang illicit enrichment ini bukan hanya untuk mencegah dan memberantas korupsi, tetapi juga untuk membuat sistem hukum yang kuat dalam pencegahan kekayaan tidak wajar yang diperoleh dari hasil korupsi atau melawan hukum,” wanti Ghufron.
LHKPN tetap menjadi landasan utama, lanjut Ghufron, pada penyesuaian kewajaran kepemilikan aset dan kekayaan yang dimiliki oleh seorang pejabat negara berdasarkan pendapatan sah yang dimilikinya. Namun, disisi Iain juga harus ada sistem hukum yang mengatur batas kewajaran kekayaan pejabat publik yang relevan dan efisien.
Sementera itu, Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana juga menyampaikan, sebagaimana fungsi lembaga sentral ini yang mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
“PPATK juga memiliki tugas dan kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan, melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan, dan meneruskan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum, termasuk dalam melakukan pencegahan terhadap kekayaan yang tidak wajar,” kata Ivan.
Lembaga ini juga, lanjut Ivan, menjadi suatu Financial Intelligence Unit (FIU) yang memiliki tugas dan kewenangan untuk menerima laporan transaksi keuangan, melakukan analisis atas laporan transaksi keuangan, dan meneruskan hasil analisis kepada lembaga penegak hukum seperti KPK.
Mengenai kasus kekayaan yang tidak wajar (Illicit Enrichment), PPATK telah memblokir rekening sejumlah pihak, termasuk konsultan pajak yang diduga menjadi kuasa atau nominee Rafael Alun. Ivan menyebut transaksi nominee itu cukup intens dengan jumlah yang besar.
Oleh karenanya, melalui diskusi nasional diharapkan dapat menyoroti dugaan adanya potensi pejabat publik yang dapat melakukan penyalahgunaan wewenang atau jabatan dalam tugasnya terkait dengan pendapatan kekayaan yang tidak wajar, serta terwujudnya nilai-nilai kesadaran secara komprehensif terhadap generasi muda untuk ikut serta melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kebijakan dan tindakan dari pejabat negara. [BHM-KPK RI]