Oleh: Misno Abu Aisyah
Hawa begitu kuat memengaruhi setiap aliran darah dan persendian manusia, hingga menjadikan segala yang ada indah adanya. Keindahan yang sangat relatif yang dipengaruhi oleh masa lalu dan preferensi yang dibangun dalam dada setiap manusia. Keindahan yang nampak oleh setiap manusia akan berbeda-beda, hingga tidak ada kata sepakat dalam melihat cantik atau gagah-nya seorang manusia. Dorongan hawa-nya semakin menghiasi diri manusia hingga tanpa sadar dia mengucapkan “Betapa sempurna makluk ciptaanNya” bahkan ketika melihat muka yang bulat laksana rembulan ia berbisik “Kukira Purnama satu adanya, ternyata ada dua dengan wajah tuan yang bercahaya melebihi purnama”.
Kata-kata yang penuh dengan pujian, yang ditujukan pada sang pujaan yang begitu menawan. Ini bukan hegemoni muda-mudi, tapi selalu hadir dalam diri setiap insani. Bahkan pada mereka yang telah setengah baya atau yang kain kafannya telah dilipat di pabriknya. Ya… pesona manusia bagi manusia lainnya memang membawa rasa luar biasa, hingga sulit dipisahkan antara cinta dan hawa. Bercampur saling memberi rasa, pesona raga yang dibumbui dengan “cinta” ala kadarnya, selalu ada bersama dengan eksistensi manusia.
Tentu tidak munafik ketika kita mengakuinya, melihat wajah bulat bercahaya yang penuh dengan pesona, atau melihat tampang rupawan yang menggoda iman dalam jiwa dan raga. Bahkan diri kita sering takluk di bawahnya, hingga mengorbankan segalanya untuk sekadar merasakan pesonanya. Sekali lagi, ini buka hanya mereka yang usia muda tapi jiwa-jiwa muda yang terperangkap dalam jasad yang sudah renta. Karena sejatinya jiwa manusia tidak pernah berubah, hanya jasad yang takluk dengan hukum alam di dunia.
Jika demikian adanya, bagaimana sejatinya kita menyikapinya? Apakah terus terpesona dengan cahaya di wajahnya, atau menunduk malu dengan waktu yang terus memburu? Atau berlari meninggalkan semua itu dan bersujud dalam mihrab keharibaanMu? Dunia dan segala isinya adalah karunia Allah Ta’ala, termasuk wajah-wajah penuh pesona yang selalu menggetarkan jiwa dan raga. Memandangnya dengan penuh hawa tentu bukan hal utama, tetapi sejenak menatap kemudian menunduk malu dengan Sang pemilik Waktu, itulah yang seharusnya dilakukan manusia. Jangan kotori pandangan ini dengan hal-hal yang membuat mata hati menjadi buta, hingga tidak tahu mana yang boleh dilihat dan mana yang membawa mudharat.
Maka, “Kukira Purnama satu adanya, semoga purnama yang kedua bisa menyinari di akhirat sana”. Purnama yang abadi dan menjadi milik pribadi tanpa batas masa. Wahai pemilik wajah bak purnama, bersabarlah karena engkau akan menjadi milik, ketika kita mampu mengelola pandangan ini. Semoga kita bisa berjumpa di surgaNya, di mana setiap wajah bercahaya dan akan banyak purnama di sana… Semoga. 08112022. []