Memakna Moderasi Beragama

Foto Dokumentasi

Dr. Abd Misno, MEI

Direktur Program Pascasarjana INAIS Bogor

Bacaan Lainnya

Saat ini kita sering sekali mendengar istilah moderasi beragama, kata ini menjadi semacam campaign (kampanye) dalam kehidupan beragama khususnya di Indonesia. Apabila kita menelisik lebih jauh sejatinya hakikat dari moderasi beragama dalam Islam sudah dijelaskan secara detail yaitu dalam QS. Al-Kaafirun: 6, Allah Ta’ala berfirman “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.  Lantas bagaimana sejatinya memakna moderasi beragama yang saat ini menjadi istilah yang banyak dijumpai di Indonesia?

Istilah “moderasi” berasal dari Bahasa Inggris yaitu kata “moderation”, yang bermakna sikap sedang dan tidak berlebih-lebihan. Kita mengenal istilah “moderator”, yang bermakna ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute). Secara lebih luas moderator dipahami sebagai orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga. Kata moderation berasal dari bahasa Latin “moderatio”, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “moderasi”  dengan penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Istilah untuk moderat atau moderasi dalam Bahasa Arab adalah washattiyah yang bermakna pertengahan. Ibnu Faris dalam karyanya Mu’jam Maqayis al-Lughah, memaknainya dengan sesuatu yang di tengah, adil, baik, dan seimbang. Dalam bahasa yang umum digunakan dalam keseharian kita hari ini, wasathiah seringkali diterjemahkan dengan istilah moderat atau bersikap netral dalam segala hal. Terminologi wasath -atau dalam bentuk Sifat musyabbahah-nya dibaca wasith ini- kemudian diadobsi oleh bahasa Indonesia dengan sebutan “wasit”, yaitu orang yang menengahi sebuah pertandingan antara dua kubu atau kelompok dalam sebuah pertandingan sepakbola, voli dan lain sebagainya.

Apabila istilah moderasi digabungkan dengan agama dan sikap dalam beragama maka menjadi moderasi beragama yang bermakna “Sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama”. Istilah ini merujuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Istilah ini memang sangat indah untuk didengar, dan secara teoritis begitu elegan, yaitu dalam beragama kita tidak boleh terlalu “ekstrim” baik ke kiri ataupun ke kanan. Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang multi kultur dan plural, moderasi menjadi sebuah keniscayaan menurut mereka. Namun, benarkah yang dimaksud moderasi beragama adalah demikian? Atau jangan-jangan juga terjebak ke dalam pluralism agama yang memunculkan keyakinan semua agama adalah sama?

Islam sejak awal kehadirannya telah memberikan pedoman dalam beragama, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-Baqarah: 143 “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian”. Makna dari ummatan washatan adalah umat yang pertengahan, tidak condong kepada ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, yaitu berpegang teguh pada wahyu Allah ta’ala. Tentu saja makna ekstrim sendiri juga perlu didefinisikan dengan benar, karena banyak orang yang men-cap ektrim seseorang padahal sejatinya dia berpegang teguh kepada syariat Islam yang hanif.

Merujuk pada ayat dalam QS. Al-Baqarah: 143, dipahami bahwa Islam telah memberikan seperangkat aturan wahyu yang bersifat washatan (moderat) atau pertengahan, yaitu tidak berlebih-lebihan dan tidak pula menyepelekan. Konteks ayat ini tentu saja terkait dengan kisah Nabi Isa alaihisalaam, di mana kaum Yahudi berlebih-lebihan dengan menganggap Nabi Isa adalah anak hasil perzinahan, sementara kaum Nashrani berlebih-lebihan dengan menyatakan Nabi Isa adalah anak Tuhan. Maka, Islam berada di antara keduanya, yaitu Nabi Isa adalah anak dari perawan suci Maryam dan sebagai nabi dan rasulNya.

Selain ayat tersebut, masih banyak lagi ayat dan hadits yang memerintahkan kita untuk beragama dengan tidak berlebih-lebihan. Misalnya sabda Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam “Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap terlalu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama.! Karena sesungguhnya (hal) yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah lantaran sikap terlalu berlebih-lebihan dalam beragama. H.R. Ibnu Majah. Hadits ini secara jelas memerintahkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam beragam, dengan istilah lain hendaknya kita beragama sesuai denga napa yang telah Allah Ta’ala tetapkan di dalam kitabNya dan dalam sunnah Nabi-Nya yang mulia.

Kembali kepada makna moderasi beragama, sejatinya Islam telah sempurna dan lengkap sebagaimana firmanNya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu”. QS. Al-Maidah: 3. Merujuk pada ayat ini maka Islam sudah sempurna, mengatur seluruh sendi kehidupan manusia termasuk dalam sikap beragama. Baik sikap beragama secara individual, komunal dan kemasyarakatan. Demikian pula sikap beragama dengan sesame Islam serta dengan pemeluk agama lainnya, Islam telah mengatur semuanya.

Moderasi beragama yang saat ini berkembang sejatinya hanya sebuah slogan untuk memperbaharui Syariah Islam yang sejatinya sudah sempurna. Semacam upaya mengingatkan Kembali kepada umat Islam bahwa Islam sudah sejak awal sudah toleran dengan semua agama. Tentu saja pedoman umat Islam dalam hal ini adalah firmanNya dalam QS. Al-Kaafirun: 6, Allah Ta’ala berfirman “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. Ayat ini sudah sangat jelas, toleransi beragama dalam Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

Jika moderasi beragama saat ini justru kebablasan atau memang disengaja dengan memaknainya dengan menghormati agama lain hingga menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Ini tentu sebuah kesalahan, karena bertentangan dengan ayat yang mulia “Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam.” Demikian pula jika moderasi beragama kemudian mencampuradukan antara Islam dengan agama dan kepercayaan lainnya maka ini adalah salah satu dari pemikrian pluralisme dan liberalisme agama di mana memaksakan satu agama dalam hal ini Islam untuk melebur dengan agama dan kepercayaan lainnya.

Maka, kesimpulannya adalah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar tidak boleh setiap muslim meyakini ada kebenaran dalam agama lain. Namun, sebagai muslim kita juga harus menghormati agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak mengganggu mereka untuk beribadah. Inilah sejatinya Islam, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamiin).

Pagi cerah di Kota Hujan, 03112021 []

Pos terkait