Oleh: DR. Basuki Ranto
Dosen Pascasarjana STIE Mulia Pratama
Baru-baru ini terjadi sebuah kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh Indosat Ooredoo Hutchison. Sebanyak 300 orang di PHK dalam kondisi mufakat dalam arti diterima dengan baik oleh karyawan yang terdampak PHK, dan hebatnya PHK ini terjadi setelah kedua entitas bisnis sebelumnya melakukan merger dengan membentuk perusahaan dan nama entitas baru.
Dalam banyak kasus, kebijakan PHK menimbulkan polemik terutama tentang kesepakatan besarnya pesangon dan kompensasi lainnya sehingga perlu waktu yang cukup untuk memunculkan sebuah kesepakatan. Namun berbeda dengan kebijakan PHK di PT Indosat Ooredoo Hutchison ini yang berlangsung cukup kondusif dan semua yang terkena dampak dapat menerima dan tidak resitensi.
Seperti diketahui, PT Indosat Tbk (ISAT) dan PT Hutchison 3 Indonesia telah melakukan merger dan berlaku efektif mulai 4 Januari 2022. Penggabungan keduanya menghasilkan entitas hasil merger yang kini bernama Indosat Ooredoo Hutchison.
Sebelumnya, kedua pihak telah menandatangani perjanjian penggabungan bersyarat pada 16 September 2021 yang kemudian diperbarui pada 20 Desember.
Berdasarkan rasio pertukaran, Indosat akan memegang porsi kepemilikan saham di Indosat Ooredoo Hutchison sebesar 67,4%, sedangkan Tri 32,6%. Pada saat penyelesaian penggabungan usaha, ISAT nantinya menerbitkan 2,6 miliar saham kepada pemegang saham H3I yang akan mewakili 32,6% dari modal. Jadi pemegang saham Indosat terdilusi karena adanya kombinasi bisnis menjadi 32,6%.
Kebijakan reorganisasi dilakukan dalam rangka pertumbuhan entitas bisnis menghadapi persaingan yang cukup kompetitif apa lagi di era digital ini.
Reorganisasi bisa dilakukan dari sisi perampingan struktur yang tentu saja akan berkait kepada penciutan jumlah tenaga kerja melalui PHK. Dahulu banyak menggunakan istilah rasionalisasi namun sekarang banyak digunakan rightsizing melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara permanen.
Inisiatif reorganisasi sangat penting untuk keberlanjutan dan pertumbuhan bisnis perusahaan ke depan. Inisiatif rightsizing ini didasarkan pada strategi bisnis ke depan dan pertimbangan yang komprehensif.
Reorganisasi ini diharapkan dapat menjadi langkah strategis yang membawa Indosat Ooredoo Hutchison menjadi perusahaan telekomunikasi digital paling dipilih di Indonesia.
Kebijakan rightsizing ini memiliki alasan untuk meningkatkan kelincahan dan bertumbuh lebih cepat sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pasar saat ini dan perkembangan di masa depan.
Selain itu keputusan PHK diambil berdasarkan strategi bisnis ke depan. Perusahaan sedang menjalankan inisiatif rightsizing sebagai bentuk efisiensi. Saat ini, operator telepon seluler itu mempertimbangkan langkah bisnis yang komprehensif.
Indosat Ooredoo Hutchison memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 300 orang karyawannya.
Indosat Ooredoo dan H3I merupakan dua bisnis yang saling melengkapi sehingga dengan merger akan menciptakan perusahaan telekomunikasi dan internet digital kelas dunia yang lebih besar, kuat, dan kompetitif.
Kebijakan Rightsizing Kondusif
Pelaksanaan reorganisasi pasca merger di perusahaan ini berjalan cukup kondusif dan tidak menghabiskan energi waktu dan biaya yang banyak untuk memperoleh kesepakatan yang bijak pula antara pihak manajemen perusahaan dengan karyawan.
Hal-hal yang dilakukan adalah pertama dengan melakukan komunikasi yang effektif dan cerdas dengan pegawai yang terkena dampak, sehingga hampir 100% karyawan yang terdampak setuju dengan keputusan PHK ini. Mereka yang terdampak akan mendapatkan pesangon dengan jumlah besar tersebut.
Selanjutnya yang kedua menentukan dan menyepakati secara transparan paket kompensasi. Konon paket yang ditawarkan kepada karyawan adalah rata-rata 37 kali upah, dan yang tertinggi mencapai 75 kali upah. Paket ini tentu sudah sesuai dengan aturan perundangan dan bahkan memiliki nilai plus-plus sehingga tidak merugikan karyawan. Rata-rata pegawai mendapatkan diatas 1 miliar dan yang tertinggi ada yang mendapatkan 4,3 miliar rupiah.
Berikutnya yang ketiga realisasinya cepat dalam arti pemberian konpensasi lancar sehingga bisa dimanfaatkan untuk membangun usaha baru baik dalam bentuk kegiatan usaha rumahan atau mendirikan UMKM yang berbasis pada pengalaman tehnologi yang dimiliki karena untuk bisnis era digital masih terbuka terutama melalui online bisnis.
Sebuah pengalaman perlu disampaikan bahwa pada tahun 2000an dalam mengelola perusahaan BUMD pasca krisis 1998 perusahaan dihadapkan pada kondisi yang terus merugi, sementara jumlah karyawan banyak, utang juga relatif besar dan bisnis tidak bisa bergerak karena modal. Ketika itu penulis baru ditempatkan sebagai direksi ditempat itu. Melalui sebuah analisis yang komprehensif disepakati untuk melakukan strategi pemulihan dan penyehatan perusahaan dengan melakukan strategi restrukturisasi diantaranya untuk pegawai dilakukan rasionalisasi melalui PHK dengan kebijakan pesangon plus dan sistim bonus percepatan. Pesangon diberikan sesuai ketentuan plus tambahan jumlah tertentu sesuai masa kerja. Sedangkan bonus waktu diberikan kepada yang mengambil keputusan lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
Melalui sosialisasi dan komunikasi yang intensif dan transaparan pada akhirnya rasionalisasi dengan menciutkan pegawai menjadi 50% yaitu dari 400 orang menjadi 200 orang dapat terselenggara dengan baik dan tidak memunculkan penolakan-penolakan.
Selain itu juga melanjutkan kebijakan restukturisasi utang, permodalan, asset dan melakukan reorientasi bisnis, yang pada akhirnya perusahaan mampu bangkit kembali (recovery) dan tumbuh serta mampu berperan kembali sesuai dengan core bisnisnya.
Konklusi
Dari beberapa uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan beberapa fakta kejadian, maka dapat diambil konklusi sebagai berikut:
Pertama : Dalam rangka strategi bisnis kedepan diperlukan langkah-langkah strategi yang tepat terutama dalam membangun pertumbuhan bisnis melalui kebijakan reorganisasi baik berkait finance maupun non finance.
Kedua : Kebijakan rightsizing, penciutan, perampingan organisasi yang berdampak kepada PHK harus dilakukan dengan kebijakan yang saling menguntungkan (win-win solution) dalam arti dari sisi perusahaan mampu menghasilkan effisiensi biaya sementara dari sisi karyawan yang berdampak memiliki kemampuan menciptakan kerja baru atau menjadi wirausaha baru dengan kemampuan modal dari kompensasi dan skill yang dimiliki atau secara tegas tidak menjadi pengangguran yang hanya mengandalkan uang kompensasi.
Ketiga : Untuk menjadi terdepan dalam menghadapi persaingan global apalagi dibidang sistem informasi digital yang begitu cepat perubahannya maka diperlukan formula strategi menyeluruh agar menjadi pemimpin biaya (cost leadership) yang mampu mewujudkan keunggulan-keunggulan baik komparatif (competitive advanted) maupun keunggulan kompetitif (competitive advantage).
Keempat : Strategi Merger dalam satu lini bisnis yang sama perlu lebih eksis dan bahkan satu-satunya pilihan karena keunggulan, sehingga perlu berbagai strategi tidak saja rightsizing tetapi diperlukan repositioning, rebranding, restrukturisasi lainnya yang diperlukan sehingga tujuan untuk menjadi perusahaan berkelas dunia, tangguh, besar dan kuat bisa terwujud. (01102022@br) [jbm]