Menemani Dua Kyai Kharismatik

Foto Ilustrasi

Oleh: Mahfud Hidayat

Saat itu, saya terjadwal untuk khutbah di Masjid Raya Kota Bogor. Biasanya selesai shalat langsung pamit untuk pulang dan melanjutkan aktivitas yang lain. Namun pada hari itu, saya dikejutkan dengan kehadiran guru kami, KH Mustofa Abdullah bin Nuh. Kiai santun yang tawadu dan kharismatik, Pimpinan Yayasan Islamic Center Al Ghazali Bogor, yang juga Ketua Umum MUI Kota Bogor.

Bacaan Lainnya

Kurang lebih dua jam kami berdiskusi tentang budaya dan Pancasila. Termasuk budidaya tanaman tin yang buahnya tumbuh subur di timur tengah. Beliau pun browsing mengenai kemungkinan untuk ditanam di Indonesia. Pembicaraan ini diawali oleh pertanyaan beliau tentang nama pesantren yang sedang kami rintis, yaitu At Tiin. Selanjutnya obrolan kami menyasar pada latar belakang pesantren. Beliau menanyakannya. Selebihnya beliau menjelaskan tentang pentingnya Pancasila sebagai falsafah negara sekaligus penghayatan bagi orang beragama. Sebab di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur yang harus dijunjung.

Pada kesempatan yang langka ini, saya mengajukan ide agar Pancasila dijadikan sebagai doa. Misalnya, ya Allah ya Tuhan kami, jadikanlah kami bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. Jauhkan kami dari segala kemusyrikan dan penuhanan terhadap benda. Ya Allah, berilah kekuatan kepada kami untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Jauhkan kami dari kezaliman dan semua perilaku yang tidak berkeadaban. Ya Allah jadikan kami bangsa yang bersatu. Jauhkan kami dari perpecahan, pertikaian dan permusuhan yang mengundang laknatMu. Ya Allah, bimbinglah kami untuk menjadikan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sebagai sokoguru kepemimpinan kami. Ya Allah, tolonglah kami untuk menebarkan keadilan sosial di seluruh negeri. Kurang lebih seperti itu. Redaksi doa Pancasila pertama saya kenal dari ide Abah Jatnika dan ditindaklanjuti oleh Kyai Ubaydillah Anwar.

Mendengar itu, Abah Toto (panggilan ta’zhim Kyai Mustofa ABN) langsung respek dan berharap kedepannya masuk dalam redaksi doa bersama. Sejatinya dengan menjadikannya doa, berarti kita mengakui kelemahan kita sebagai hamba untuk memohon pertolongan dan bimbingan Allah SWT dalam mewujudkan nilai-nilai luhur tersebut.

Selang dua jam berikutnya, selepas Abah Toto pamit pulang karena ada tamu di Al Ghozali, datanglah KH Taufiq Hudori ke ruang VIP masjid raya. Saya memanggilnya mama. Beliau ketua komisi fatwa MUI Kota Bogor. Sambil ngopi santai, saya pun memberanikan diri untuk berdiskusi masalah-masalah keagamaan. Tentang ta’addud Jumat (shalat Jumat yang dilakukan di beberapa masjid) di suatu tempat yang berdekatan. Tentang khutbah yang diterjemahkan, tidak dengan bahasa Arab dalam Mazhab Syafi’i. Bahkan sampai membahas tentang metode dakwah di wilayah yang jauh dari ajaran agama. Serunya lagi ketika membahas tentang karamah para wali dan maunah para Shalihin.

Beliau seorang kyai yang tawadu. Sanad keilmuannya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk saat berbicara tentang karamah dan maunah orang-orang saleh tadi. Banyak yang beliau alami sendiri dan melihat langsung saat bertemu dengan mereka. Ada satu hal yang saya baru mengetahuinya. Seseorang seperti kita tidak boleh mengatakan kemuliaan yang Allah berikan kepada orang saleh yang masih hidup sebagai karamah wali. Sebab wali tidak diketahui kecuali oleh wali. Dengan mengatakan seperti itu, maka ia mengangkat dirinya sendiri sebagai wali. Karenanya cukup dengan mengatakan maunah orang saleh. Meskipun setelah orang saleh itu wafat, maunahnya itu dikenal dengan istilah karamah.

Selain itu banyak lagi yang kami obrolkan. Alhamdulillah tidak terasa sudah dua jam disela salat asar telah kami lalui bersama Mama. Bersyukur saya bisa lebih dekat dengan kedua ulama terkemuka di Kota Bogor ini. Anehnya masing-masing dua jam. Padahal tanpa direncanakan dan tidak ada janjian sebelumnya. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan keistiqamahan serta keberkahan ilmu bagi keduanya. Wallahu a’lam. []

Pos terkait