Oleh : DR. Basuki Ranto
Dosen Pascasarjana Universitas Suropati
Reflasi dapat diartikan sebuah kondisi dimana terjadi resesi dan disertai inflasi yang tinggi. Kondisi ini lebih parah dibanding dengan staglasi, alias kondisi ekonomi stagnan dan inflasi tinggi. Kondisi stagflasi adalah suatu kondisi dimana terjadi resesi disebuah negara dan kondisi ekonomi stagnan sementara juga terjadi inflasi yang tinggi.
Secara akumulasi kondisi ini akan mengakibatkan resiko yang disebut sebagai resiko stagflasi, dimana pertumbuhan yang stagnan menurun dan inflasi tinggi. Bahkan sekarang istilahnya adalah reflasi, resiko resesi dan tingginya inflasi.
Dilansir dari katadata, disebutkan reflasi menggabungkan istilah resesi dan inflasi. Reflasi terjadi bila resesi dan inflasi berada di tingkat yang tinggi. Sementara itu, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, reflasi memiliki pengertian sebuah usaha untuk mengembalikan nilai uang kepada nilai sebelum inflasi.
Ciri pertama reflasi adalah turunnya pertumbuhan ekonomi global dan ada risiko resesi di beberapa negara. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan melambat menjadi 4,37%, sementara pertumbuhan global diperkirakan hanya 2,6% dan bahkan bisa turun hingga 2%. Angka ini lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan global tahun ini, yakni 3%.
Selanjutnya disebutkan bahwa kemungkinan resesi Amerika dan Eropa semakin meningkat. Amerika, misalnya, memiliki kemungkinan mencapai 60% untuk jatuh ke jurang resesi selama setahun ke depan. Ia juga menyebut situasi sulit di tahun ini belum mencapai titik terburuk.
“Tahun depan yang terburuk, karena ini memang berkaitan dengan geopolitik, fragmentasi politik, ekonomi dan investasi, pertumbuhan melambat”.
Kemudian ciri yang Kedua, tingginya tingkat inflasi. Inflasi dunia tahun ini diperkirakan mencapai 9,2% dengan level inflasi tinggi yang melanda negara besar seperti Amerika dan Eropa. Dalam perhitungan Bank Indonesia, inflasi Amerika Serikat sudah mendekati 8,8%, Eropa mencapai 10%, dan Inggris mendekati 11%.
Lalu berikutnya yang ketiga adalah kenaikan suku bunga yang akan berlangsung lama. Dengan tingginya inflasi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi global, bank sentral terpaksa memperketat kebijakan moneternya. BI sendiri memperkirakan bunga acuan AS bakal naik 50 bps, mencapai 4,5% akhir tahun ini. Lebih lanjut, suku bunga The Fed diperkirakan mencapai puncaknya pada paruh pertama tahun depan dan belum akan turun. Kemungkinannya, suku bunga tinggi bakal bertahan lebih lama.
Beberapa Negara mengalami reflasi, risiko resesi dan tingginya inflasi.
Saat ini sudah banyak negara yang mengalami resesi sehingga perlu melakukan pencarian sumber dana Internasional melalui International Monetery Funds (IMF) guna memperoleh infus pembiayaan untuk keberlangsungan dalam mengatasi kebutuhan anggaran.
Negara- negara yang mengalami resesi dihadapkan dengan masalah kredit outstanding (sisa pinjaman belum terbayar) paling besar ke IMF per 18 Oktober 2022.
Utang tersebut dalam bentuk satuan SDR (Special Drawing Rights), yaitu cadangan aset internasional ciptaan IMF.
SDR terdiri dari lima mata uang; Dolar Amerika Serikat, Euro, Yuan China, Yen Jepang dan Poundsterling. Sementara, berdasar data IMF 1 SDR setara dengan US$1,28.
Negara yang dihadapkan dengan masalah tersebut diantaranya :
(1) Argentina dengan nilai outstanding sebesar 32.242.641.250 SDR.
(2) Mesir dengan jumlah utang sebesar 13.636.154.169 SDR.
( 3) Ukraina dengan jumlah utang sebesar 7.733.294.171 SDR.
(4) Pakistan dengan jumlah utang sebesar sebesar 5.932.166.668 SDR.
(5) Ekuador dengan jumlah utang sebesar 5.599.350.000 SDR.
(6) Kolombia dengan nilai outstanding sebesar 3.750.000.000 SDR.
(7) Angola dengan jumlah utang mencapai 3.213.400.000 SDR.
(8) Afrika Selatan dengan jumlah outstanding 3.051.200.000 SDR.
(9) Nigeria dengan jumlah utang 2.454.500.000 SDR.
(10) Pantai Gading dengan nilai utang 1.610.643.852 SDR.
Selain itu juga terkait kepada tingkat inflasi yang berdampak pada Reflasi dalam kondisi resesi. Banyak negara yang tingkat inflasinya cukup dramatis diantaranya:
(1) Inflasi tahunan Turki mencapai 79,6 persen pada Juli 2022. Pada Juni lalu, inflasi negara yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdogan itu mencapai 78,6 persen.
Dilansir dari AFP, Rabu (3/8), Turki jatuh ke dalam krisis ekonomi ketika Erdogan memulai eksperimen ekonomi untuk menurunkan harga konsumen dengan memangkas suku bunga.
Kendati demikian, Erdogan berulang kali memohon ‘kesabaran’ warganya dan bersumpah bahwa harga akan mulai turun lagi pada awal tahun depan.
(2) Argentina
Lonjakan inflasi Argentina mencapai 71 persen pada Juli 2022, meningkat dari 64 persen pada bulan sebelumnya. Tingkat inflasi ini menjadi yang tertinggi sejak 1992.
Inflasi disumbang terutama oleh kenaikan harga makanan dan minuman sebesar 28 persen, transportasi 10,4 persen, pakaian dan alas kaki 10,4 persen, dan perumahan dan utilitas 8,7 persen.
(3) Rusia
Tingkat inflasi Rusia mencapai 15,1 persen pada Juli 2022, turun dari 15,9 persen pada bulan sebelumnya. Harga makanan di Rusia terus meningkat tajam sebesar 16,8 persen. Diikuti oleh produk non-makanan sebesar 16,5 persen, dan jasa 10,8 persen.
Ekonomi Rusia mulai lunglai setelah enam bulan melakukan invasi terhadap Ukraina. Namun, sejumlah analis melihat Negeri Beruang Merah masih memiliki ketahanan di atas ekspektasi.
“Saat ini, penurunan sudah dimulai,” ujar mantan menteri ekonomi Rusia pada awal 1990-an Andrey Nechaev seperti dikutip dari CNN Business, Senin (29/8).
(4) Spanyol
Tingkat inflasi tahunan Spanyol berada di posisi 10,4 persen pada Agustus 2022, turun dari 10,8 persen pada bulan sebelumnya.
Tentu masih banyak lagi Negara lain yang Inflasinya cukup tinggi. Hal tersebut merupakan gambaran betapa beban berat yang harus ditanggung.
Ekonomi dunia kini terancam mengalami reflasi, yakni kondisi di mana resesi ekonomi disertai dengan tingkat inflasi yang tinggi.
Di Indonesia, tekanan inflasi telah membuat pemerintah menaikkan UMK hingga 10% pada 2023, meskipun gelombang PHK telah terjadi di sejumlah sektor usaha. Sektor usaha tentu semakin terbebani dengan kenaikan upah ditambah dengan naiknya suku bunga acuan Bank Indonesia. Maka, sanggupkah Indonesia selamat dari gejolak ekonomi? (Metronews 30112022)
Bagamaimana Kondisi Indonesia ?
Dilansir dari detikcom, dalam suatu kesempatan menyampaikan pengarahan kepada Komisi Pemilu, Jokowi mengatakan saat ini sudah ada 14 negara yang masuk sebagai pasien dari IMF (International Monetary Fund) untuk dibantu. Padahal, pada krisis ekonomi tahun 1997-1998 hanya ada 5 negara saja yang dibantu oleh IMF.
Lebih lanjut disampaikan bahwa masih 20 negara ngantri lagi di depan pintu IMF untuk minta bantuan dan 66 negara yang rentan untuk ikut lagi ngantri. Ini kita harus mempunyai perasaan yang sama kita tidak berada di posisi yang normal tapi upnormal karena diawali dengan pandemi, perang di Ukraina, ketegangan geopolitik, krisis pangan energi dan finansial krisis biaya hidup di semua negara dan justru yang banyak di negara-negara maju,” jelasnya.
Akibat sulitnya kondisi dunia, kata Jokowi, semua kepala negara pun sakit kepala. Namun, menurutnya, tidak dengan Indonesia.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sekalipun banyak negara mengalami kesulitan dan mengalami reflasi dan harus mendapatkan infus dana dari IMF, tidak tejadi di Indonesia karena mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup yaitu diatas 5% yoy.
Lebih lanjut juga menyinggung soal laju inflasi Indonesia yang masih terkontrol. Pada kuartal II, inflasi tercatat 4,9 persen dan Agustus 2022 hanya 4,6 persen.
Mendengar kabar tersebut, Jokowi ingin Indonesia bersyukur tak termasuk dalam daftar pasien IMF. Pasalnya, pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia pada kuartal II 2022 masih menyentuh 5,44 persen (year on year/yoy) di tengah resesi.
Dari beberapa penjelasan dan pernyataan tersebut dengan percaya diri menunjukkan bahwa posisi Indonesia masih aman dari dampak resesi dan reflasi akibat inflasi.
Namun demikian ketika negara-negara yang terdampak resesi dan reflasi dan merupakan negara yang ada kerja sama dengan Indonesia, secara operasianal rasanya akan berpengaruh mulai dibidang perdagangan, investasi, finansial serta berimbas pada pengangguran dan kemiskinan.
Hal ini disebabkan karena menurunnya aktifitas oleh negara yang mengalami resesi dan reflasi terjadi penurunan eksport dan import serta kebijakan investasinya yang sudah barang tentu juga akan mengganggu perekonomian kita sekalipun soliditas kebijakan pemulihan ekonomi cukup baik.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang sudah disampaikan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa konklusi sebagai berikut:
Pertama : Saat ini sedang terjadi resesi dunia dan dialami negara-negara maju sehingga mengalami kesulitan ekonomi khususnya terkait dengan kebutuhan pembiayaan.
Kedua : Akibat resesi maka negara-negara yang terdampak dihadapkan kepada utang kepada IMF yang terus meningkat outstanding pinjaman dan banyak yang mengantri untuk mengatasi masalah tersebut.
Ketiga : Reflasi yaitu meningginya inflasi juga terjadi terhadap negara yang terkena resesi, sehingga akan menambah beban yang harus diselesaikan serta meningginya tingkat bunga.
Keempat : Sekalipun Presiden Jokowi dengan percaya diri bahwa posisi Indonesia aman dari krisis ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang berada pada tingkat pertumbuhan ekonomi diatas 5% dan tingkat inflasi yang terkendali 4,6% dan mulai bergeraknya beberapa sektor ekonomi pasca pandemi, namun perlu Kewaspadaan penuh agar stabilitas terjaga.
Kelima : Beberapa hal yang harus diantisipasi akibat dampak resesi dan reflasi adalah menurunnya sektor perdagangan, investasi, finansial, pengangguran terutama yang melakukan kerjasama dengan negara yang terdampak resesi. (19122022@bas) [jbm]
Referensi: http://detik.co.id, http://cnnindonesia.co.id, http://katadata.co.id, http://metronews.co.id