Barometernews.id | Sigli, Pidie, – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie kembali memberikan dukungan dengan memfasilitasi acara bedah buku Umat Bertanya, Waled Menjawab; Pemikiran Teungku H. Nuruzzahri Volume II. Acara tersebut terlaksana atas kerja sama HMI Cabang Sigli dan FLP Sigli. Diskusi literasi diselenggarakan di Aula Op Room Setdakab. Pidie, Senin (20/01).
“Ini merupakan buku ke empat yang dibedah di aula ini dan disupport Pemkab Pidie. Kita berharap acara seperti ini memberikan pengaruh ke arah yang lebih baik dalam pengembangkan minat baca dan sadar literasi bagi masyarakat Pidie” Ujar H. Malek Kasem mewakili Wabub Pidie yang berhalangan hadir.
Buku pemikiran Ulama Karismatik Aceh itu dibedah oleh dua orang intelektual Pidie, Ustad Junaidi Ahmad, MH dan Umar Mahdi, MH. “Kedua pembedah buku itu memiliki kesimpulan yang sama dalam melihat sosok Waled Nu, padahal setelah diminta menjadi pembedah, keduanya tidak pernah bertemu,” Ujar Rio, ketua panitia dan juga ketua FLP Aceh.
“Waled Nu merevitalisasi fungsi ulama zaman dulu dalam konteks modern; beliau menyebarkan ilmu dalam tulisan, kalam – kalamnya penuh dengan nilai filosofis, nilai edukatif dan nilai praktis. Sosok Waled Nu juga proaktif merespon permasalahan umat, dan peka terhadap dunia sosial. Beliau selalu mengajak umat kepada persatuan,” Ungkap Ustaz Junaidi Ahmad.
Lebih lanjut Umar Mahdi, MH dalam pandangannya menyebutkan, “Sosok Waled Nu adalah ulama yang tindakan dengan perkataannya sesuai. Kesuksesan Waled Nu tidak bisa dipisahkan dari amalan kebaikan dan zikir yang dilakukannya secara continue setiap hari. Bagi Waled Nu kunci sukses itu ada pada shalat berjamaah,” Kata Umar Mahdi yang juga Dekan Fakultas Hukum UNIGHA.
Sementara itu dalam paparannya, Abdul Hamid, Lc, MA, penulis buku itu mengungkapkan alasan mengapa sosok Waled Nu diangkat dalam karyanya. Pertama, sosok Waled Nu mengingatkan dia pada pribadi Mulla Ramadhan, seorang ulama dan pejuang Islam pada Perang Dunia Pertama yang memilih hijrah ke Suriah. Mulla sebagai tokoh agama dan rujukan umat tentang kedudukan seorang ulama.
Seorang ulama tidak hanya menghabiskan waktu dalam mengajar, tapi terlibat dalam dunia usaha halal untuk kebutuhan keluarga dan dirinya seperti Imam Hanafi. Menurutnya, Waled Nu punya sisi itu, beliau pekerja keras dan punya usaha halal untuk kebutuhannya dan rajin mengajar santri mengenai dunia usaha. Jadi sisi ini perlu kita tonjolkan untuk generasi milenial kita.
Ke dua, Waled Nu mengingatkan kita tentang fungsi ulama sesuai dengan kebutuhan di masanya. Waled sosok yang melek teknologi, beliau sadar dalam kondisi seperti ini umat Islam lebih suka menggali ilmu dari media daripada datang ke Majlis Taklim, maka beliau menyebarkan ilmu dalam tulisan. Realita ini juga tidak terlepas dari beragam cerita unik para ulama salaf tentang pentingnya menulis.
Imam Sarakhsi misalnya, beliau pernah dipenjara di dalam sumur, tapi dalam masa tahanan itu beliau menulis karya besar kitab Al-Mabsuth yang tebalnya sepuluh jilid lebih. Dan kitab tersebut menjadi rujukan penting dalam fikih Hanafi.
Ke tiga, Waled membagikan hidupnya kepada tiga hal, Ibadah, Bermasyarakat dan Bisnis (usaha). Dalam konteks bermasyarakat jika berbicara sosok Waled Nu, maka yang terlintas di benak kita adalah anak yatim. Beliau sejak 1991 sampai sekarang memelihara anak yatim dengan memberikan makanan dan pendidikan gratis. Hari ini banyak anak yatim yang besar dari sentuhan kasih sayangnya menjadi sukses dan punya masa depan yang cerah.
Bagi waled, anak yatim harus setara dengan anak yang masih ada ayah. Tidak boleh dipandang sebelah mata. Mereka juga berhak menikmati masa depan yang cerah. Karena itu, Waled selalu menyampaikan kepada anak – anak yatim bahwa beliaulah pengganti orang tua mereka.
“Sekarang Abdul Hamid sedang menggarap buku pemikiran Waled Nu untuk jilid tiga,” Jelas Mahzar, Ketua HMI Sigli. [Red/Rio]