Oleh : M.Yunus Bidin, S.H.,M.H
Dosen Prodi Ilmu Hukum Fisip Universitas Teuku Umar, Meulaboh
Paska pelaksanaan kenduri sawah (blang) ketika padi mulai gadis (dara) petani dilarang untuk bepergian ke sawah selama tiga hari secara berturut- turut, baik untuk bekerja menyiangi rumput atau pun membersihkan pematang (tak ateung blang) maupun hanya untuk sekedar melihat padi dan duduk di jamboe blang.
Pengaturan hukum terkait perihal tersebut sebenarnya sudah sejak lama berlaku, saya teringat pernah diberitahu oleh Alm.bapak yang berprofesi sebagai petani tulen pada saat beliau masih hidup, bahkan sering ikut menghadiri acara kanduri blang pada saat padi sudah gadis (dara), ketika masih sistem tanam dalam setahun sekali yang disebut padi tahun, sekarang setahun dua kali.
Di gampong Ujong Tanoh Darat & Ranub Dong Kecamatan Meureubo kanduri blang dua kali dilaksanakan pada waktu mau turun kesawah dan pada saat padi mulai beranjak gadis, para petani disarankan untuk membuat lemang dan dibawa ke sawah pada saat kanduri.
Saya lama tidak menghadiri kanduri blang meskipun sekarang berdomisili di kampung yang cukup luas areal persawahannya di kec. Meureubo. Memang untuk sementara waktu saya tidak sedang berprofesi sebagai petani sawah, hanya sebagai peternak kerbau dan ayam untuk menambah ekonomi keluarga.
Awalnya saya beranggapan bahwa pelarangan tersebut sudah tidak berlaku lagi, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman yang terus terjadi di masyarakat.
Namun ternyata pelarangan tersebut masih berlaku, dan saya baru mengetahuinya ketika saya mengajak Ketua kelompok tani yang masih sebagai kerabat untuk melihat sawah warisan dari nektu (bapak dari ibunda saya), yang sawahnya digarap oleh penyewa. Ajakan saya ternyata ditolak oleh Ketua kelompok tani tersebut, dengan alasan baru siap kanduri sawah, saya tanya apakah aturan itu masih berlaku? Beliau mengatakan masih berlaku.
Menurutnya ketentuan pelarangan tersebut merupakan peninggalan endatu/ nenek monyang kita dahulu yang perlu kita lestarikan hingga saat ini sebagai bentuk hukum kebiasaan. Menurut keterangan beliau hal tersebut dimaksudkan agar padi tidak diserang oleh berbagai macam jenis hama.
Akibat hukum jika ada petani yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi berupa teguran dari kejrun blang serta dicela oleh petani lainnya.
Untuk saat ini para petani masih tetap berpegang teguh terhadap pelarangan tersebut sehingga tidak ada petani yang berani untuk melanggarnya.
Demikian penuturan beliau kepada saya.
Dari cerita singkat tersebut di atas dapat dipahami bahwa, begitulah komitmen dan konsistensi masyarakat di gampong khususnya petani dalam menghormati ketentuan hukum yang dibuat oleh leluhurnya, meskipun secara ilmiah perlu diadakan kajian lebih dalam lagi mengenai kebenaran materil pelarangan tersebut.
Demikian