Oleh: Karyadi el-Mahfudz, S.Th.I, M.A
Lengkap sudah rangkain ibadah di bulan suci Ramadhan 1441 H yang kita akhiri dengan mengeluarkan zakat fitrah serta ditutup dengan Salat Idul Fitri ditengah larangan mudik akibat pandemi covid-19. Aktifitas pun berlanjut pada silaturahmi atau halal bi halal dalam skala kecil, baik langsung maupun via online, seakan menjadi trending topik diera kekinian, prinsipnya niat suci untuk silaturrahmi terus menghinggapi nurani meski saat pandemi. Gambaran umum Lebaran 1441 H adalah ‘tak semeriah dulu’ penuh kebersahajaan dan memantik empati dalam relung hati nan dalam. Kini ketaqwaan yang kita tempa selama satu bulan penuh harus mampu diejawantahkan dalam tatanan kehidupan 11 bulan kedepan agar mampu memberi warna laksana bianglala atau pelangi berupa cahaya beraneka warna saling sejajar yang tampak di langit atau medium lainnya.
Di langit, pelangi tampak sebagai busur cahaya dengan ujungnya mengarah pada horizon pada suatu saat hujan ringan. Suatu keharmonisan sejajar, penuh warna bahkan penuh dengan pengakuan dosa siapapun orangnya, pangkat dan kedudukannya merasa bersalah serta tanpa malu-malu meminta maaf lahir dan batin sebagaimana Allah berfirman yang artinya “Yaitu orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134).
Yah ibadah kita pasca Ramadhan harus kita refresh, laksana dalam sebuah komputer salah satu fasilitas yang disediakan oleh sistem operasi untuk menyegarkan kembali program yang dibuka. Bahkan sekarang ini refresh semakin ngetren aja. Kadang orang bahkan ada yang dimintai untuk refreshing, itu artinya kita harus menundukan ego kita, bahkan nafsu kamilah yakni nafsu yang sudah bersih dari sifat-sifat madzmumah (tercela) dan sempurna sifat-sifat kebaikannya dan juga ‘welas asih’ kepada semua makhluk yang sudah kita patri selama ritual Ramadhan harus penuh kemurnian buka basa-basi atau kamuflase belaka.
Merefresh ibadah pasca Ramadhan tak ubahnya kita memperlakukan makanan khas lebaran dengan cara ‘nget-ngetan’ (menu yang dipanaskan) adalah hal yang bisa dibilang beriringan dengan datangnya gema takbir kemenangan, jika gema takbir mulai berkumandang di H-1 lebaran, maka menu nget-ngetan ini sudah langsung hadir di H-0 lebaran. Maka mari kita benar-benar membumikan nilai sepiritualitas yang sudah kita rengkuh, agar jiwa kita menjadi pemaaf sejati, agar nilai ibadah kita semakin penuh warna saling melengkapi laksana bianglala, agar ‘nget-ngetan’ ibadah kita tetep asyik kita nikmati terlebih di bulan syawal yang mengandung makna peningkatan ? Bukan.