Mitos Aceh : Antara Wanita dan Kuntilanak

Mirnani Muniruddin Achmad, S.Pd. I, MA

Oleh: Mirnani Muniruddin Achmad, S.Pd. I, MA

Guru MIN 13 Pidie Jaya dan Anggota FAMe (Forum Aceh Menulis) Chapter Pidie Jaya

Bacaan Lainnya

Sekilas, dengan melihat judul tersebut akan terbayang sosok perempuan dalam mitos Aceh yang telah menjelma menjadi makhluk halus. Kuntilanak yang dianggap orang Aceh sebagai hantu yang berasal dari perempuan yang meninggal akibat persalinan, meninggal setelah perempuan tersebut melahirkan anaknya ataupun bayinya belum sempat dilahirkan.

Hantu ini ditemui pada malam hari dalam wujud sesosok tubuh terbungkus kain putih atau nama lain disebut burong punjot. Kuntilanak berasal dari perempuan yang meninggal karena melahirkan dan lupa melepaskan tali pengikat kafannya ketika kuburnya ditutup (Rusdi Sufi, 1998)

Selain itu, ada juga mitos lain yang berkembang di Aceh yang tiak terlepas dari kaum perempuan, burong tujoh misalnya. Burong digambarkan berbentuk perempuan dengan sebuah lubang besar di punggunggnya, sekilas tidak jauh beda dengan kuntilanak, konon, makhluk tersebut hidupnya tidak begitu bersih dan mengalami ajalnya dengan cara yang dianggap tidak wajar.

Burong yang diakui esksistensinya oleh sementara orang  berbentuk mayat hidup terbungkus kain kafan. Bila ia berjalan kakinya tidak menginjak tanah. Suaranya kedengaran seperti suara perempuan menangis sedih (di Aceh, suara burong itu dikenal dengan bunyi “meu ‘i-‘i”, menangis tersedu sedan) sesuai dengan suasana dan waktu ia berperan (Husainy Isma’il, 1978)

Mitos yang berkembang begitu cepatnya di kalangan masyarakat Aceh ini seolah pudar ditelan era globalisasi, mereka tidak mempercayai adanya mitos kuntilanak dan burong tujoh tersebut, karena dianggap tidak masuk akal dan bersifat takhayyul dan tidak masuk akal jika dilihat keberadaan yang sebenarnya. Namun tidak demikian bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman dan jauh dari kota serta jauh dari perkembangan pengetahuan modern yang tetap meyakini mitos ini.

Namun, dibalik mitos yang dikembangkan nenek moyang secara turun menurun ini bukan tidak ada nilai positifnya, kemajuan teknologi telah melahirkan penelitian-penelitian terbaru dan pengetahuan yang up to date. Pengetahuan itu dinamis, Semestinya, manusia juga mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat memilah antara perbuatan yang harus dilakukan dan dijauhi dan dilihat dari mitos tersebut, dan ternyata mempunyai nilai positif tersendiri terhadap perempuan-perempuan hamil.

Dilihat dari cara nenek moyang kita dalam menjaga wanita yang sedang hamil. Di Aceh, wanita hamil diyakini harus melalui dan menjalani berbagai macam pantangan yang jika di langgar akan membawa akibat buruk bagi perempuan hamil tersebut.

Sebagai contoh, wanita hamil tidak boleh memakan pisang atau pinang yang tumbuh berdempet, akibatnya akan melahirkan anak yang kembar, juga ada larangan untuk memakan rebung bambu, nantinya ditakutkan akan melahirkan anak yang berbulu badannya seperti reubong. Namun, pantangan yang paling sering terdengar  adalah wanita hamil yang dilarang keluar malam, dan ini tidak lain adalah karena ada makhluk halus bernama kuntilanak dan burong tujoh, konon, kalau dilanggar makhluk halus tersebut akan memasuki tubuh wanita hamil tersebut.

Karena menurut cerita orang Aceh, ada anggapan bahwa untuk menambah jumlah burong tujoh dan kuntilanak, sasaran serangannya diarahkan kepada semua wanita hamil, dan juga wanita bersalin (Aceh: Madeung). Oleh sebab itu, dalam tradisi orang Aceh kuntilanak tidak akan mengganggu jika dari mulut wanita hamil ataupun suaminya selalu membaca doa. Doa-doa yang dipakai untuk mengusir burong dan kuntilanak ini pada dasarnya sama dengan jampi-jampi atau japa di Jawa (Syamsuddin Daud, 2002). Bagi masyarakat Aceh, wanita hamil disarankan membaca doa-doa sebagai penangkalnya agar kuntilanak tidak masuk  ked dalam tubuh dan ke dalam rumahnya.

Terkait dengan pantangan bagi wanita hamil agar tidak keluar di malam hari, ini bisa dijelakan secara ilmiah. Menjelang waktu maghrib, alam berubah ke warna merah dan di waktu ini kita kerap dinasihatkan oleh orang-orang tua agar tidak berada di luar rumah. Ini karena spektrum warna pada waktu ini menghampiri frekuensi jin dan iblis (infra-red) dan ini bermakna jin dan iblis pada waktu ini amat bertenaga karena mereka beresonansi dengan alam. Mereka yang sedang dalam perjalanan juga sebaiknya berhenti dahulu pada waktu ini (shalat maghrib dulu).

Warna merah yang dipancarkan oleh alam ketika itu mempunyai resonansi yang sama dengan jin dan syaitan. Selain itu,  ketika malam hari produksi oksigen berkurang sehingga harus berhati-hati ketika keluar malam karena bisa menyebabkan berbagai macam penyakit, sehingga kita lebih baik untuk berada di dalam rumah pada waktu maghrib.

Mitos ini juga bisa dijelaskan penyebabnya dalam ranah agama Islam, sebagaimana sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra. dari Rasulullah SAW: “Bila kamu menghadapi malam atau kamu telah berada di sebagian malam maka tahanlah anak-anakmu karena sesungguhnya setan berkeliaran ketika itu dan apabila berlalu sesuatu ketika malam maka tahanlah mereka dan tutuplah pintu-pintu rumahmu serta sebutlah nama Allah, padamkan lampu-lampumu serta sebutlah nama Allah, ikatlah minumanmu serta sebutlah nama Allah dan tutuplah sisa makananmu serta sebutlah nama Allah (ketika menutupnya)”. (H.R. Bukhari ra.)
Jadi, dalam hal ini ilmu pengetahuan dan agama sejalan, yaitu waktu maghrib dan malam hari merupakan waktu yang tidak baik untuk keluar rumah. Akan tetapi hal ini tidak hanya berlaku terhadap ibu hamil semata, melainkan untuk semua umat manusia terutama kaum perempuan.

Sepertinya  ungkapan peribahasa Aceh “mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” ada benarnya juga. Pantangan-pantangan yang terdapat dalam adat masyarakat Aceh pada dasarnya bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik.

Terkadang banyak dari mitos maupun adat Aceh yang terbukti kebenarannya jika dilihat dari segi medis maupun agama, hanya saja alasannya yang bertolak belakang dengan realita. Oleh karena itu, merasionalkan suatu adat pantang penting dilakukan agar generasi muda lebih mudah untuk menerima serta menyaring mana yang bisa diserap dan mana yang harus diabaikan.

Terlepas dari melihat mitos masyarakat Aceh, tanyakan pada pribadi masing-masing (khususnya wanita hamil), mau ikut menjadi kuntilanak dan burong tujoh selanjutnya? Cukup ikuti pantangan nenek moyang kita dulu. Simple kan? Wallahua’lam bisshawab.

Pos terkait