Oleh Silfia Meri Wulandari, SKM,. MPH,
Pelaksana Rumah Sakit Ibu dan Anak Aceh dan Sekretaris Majelis Tabligh PW ‘Aisyiyah Aceh
Menyambut Ramadhan tahun ini kita dihadapkan oleh Allah SWT berupa wabah virus yang bernama Covid-19 (Corona Virus Disease 19).
Ikhtiarnya untuk meminimalisir virus ini adalah dengan imun tubuh yang kuat, yang mampu melawan masuknya virus ini kedalam tubuh (dengan izin Allah), sedangkan imun tubuh yang lemah dan fikiran yang berlebihan (stress) akan kalah dan tumbang.
Pada saat wabah sekarang ini, tenaga medis mengambil posisi terdepan (front line), dimana yang sebelumnya biasa kita mengenal kalimat bahwa yang berada digaris paling terdepan adalah para tentara dan dibelakangnya tenaga medis.
Namun sekarang berbeda karena ini bukanlah perang melawan senjata namun berperang melawan makhluk yang amat sangat kecil, yang berukuran 125 nanometer atau 0.15 micrometer (ukuran Covid-19 ditemukan oleh Anthony R. Fehr dan Stanley Perlman dalam Publikasi Penelitian Di Situs Pusat Informasi Bioteknologi Nasional AS; Coronaviruses: An Overview Of Their Replication And Pathogenesis)
Dulu ada pepatah yang mengatakan bahwa: bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh , namun sekarang kalimat itu berkebalikan, yaitu: bersatu kita rubuh, bercerai kita selamat. Kalimat yang penuh makna, dimana dengan kita memberi jarak atau berdiam diri dirumah akan mampu memutus mata rantai penularan.
Sehingga menjadi berkurang orang yang terserang virus, dan menjadi sedikit ringan tugas para dokter, perawat dan tenaga medis lainnta di RS yang jumlahnya terbatas dibanding dengan jumlah populasi masyarakat.
Namun aturan ini tidak lama bertahan karena pemerintah lebih condong kepada pertumbuhan ekonomi rakyat dibanding dengan kesehatan dan keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Dengan begitu tugas tenaga medis akan lebih bertambah berat, jika masyarakat beraktivitas seperti biasanya di luar sana, dan bisa saja mereka (para tenaga kesehatan) akan tertular virus ini dari pasien yang dirawatnya atau tenaga medis yang melakukan kontak kepada pasien.
Berita ini bukan hanya narasi saja, bahkan ini sudah terjadi di beberapa kota, dimana tenaga kesehatan (dokter & perawat) RS yang merawat pasien dengan status PDP atau Positif Covid-19, sudah banyak yang tertular bahkan ada yang meninggal dunia. Sampai saat ini, jumlah nakes yang meninggal dunia berjumlah 45 orang, yang terdiri dari 33 orang dokter dan 12 orang perawat.
Karena itu, Ketua Umum FSP FARKES/R Idris Idham mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan keselamatan petugas kesehatan yang menangani pandemi corona. Caranya, dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang memenuhi standar dengan jumlah yang mencukupi.
Hal ini sebagaimana diatur dan dijamin dalam Pasal 57 Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Salah satu hak tenaga medis yakni memperoleh perlindungan hukum selama menjalankan tugas sesuai dengan Standar Profesi dan SOP.
Selain itu, FSP FARKES/R dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendorong masyarakat (yang tidak berkepentingan aktivitas di luar rumah) untuk tetap berada di dalam rumah. Sebab protokol untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi corona tidak akan berhasil, jika masyarakat tak disiplin.
“Dengan tetap di rumah, berarti Anda sudah membantu kami, dan lebih besar lagi membantu Indonesia dan dunia dalam memenangkan pertarungan melawan corona,” kata Idris.
Dari kejadian para tenaga kesehatan yang meniggal dunia tersebut, ada beberapa yang mendapat perlakuan penolakan dari warga setempat, yaitu menolak dikuburkan di daerah pemakaman daerah tersebut, dengan alasan bahwa bisa menularkan wabah ke masyarakat didaerah pemakaman. Padahal jelas, protokol pelaksanaan pengurusan jenasah Covid – 19 itu sudah sesuai aturan, dan resiko penularan sudah diminimalisir.
Tapi itu tidak difahami oleh segelintir orang dan mereka memprovokasi masyarakat lainnya untuk melakukan penolakan. Padahal mereka (tenaga medis) adalah manusia yang sudah sangat berjasa dalam membantu & merawat pasien Covid-19 ini. Mereka tidak meminta bahkan tidak berkeinginan untuk dihinggapi wabah dan juga tidak ingin meninggal dunia dalam wabah ini.
Harapannya, kejadian ini (penolakan dari masyarakat) tidak akan terulang kembali jika ada tenaga kesehatan yang meninggal dunia disebabkan virus ini, mereka meninggal dalam keadaan syahid (meninggal dunia saat menjalankan tugas yang mulia).
Jauh dari itu juga ada kejadian lainnya yang terjadi, bahwa didapati kasus penolakan dari masyarakat disekitar tempat tinggal tenaga kesehatan berdomisili (tidak diizinkan tinggal didaerah tersebut) dengan alasan bahwa mereka (masyarakat) tidak mau tertular. Padahal para tenaga kesehatan tersebut sudah memakai alat pelindung diri yang sesuai standar dalam menjalankan tugas, dan saat mereka pulang ke rumah/kost sudah dalam keadaan bersih.
Dari beberapa kejadian ini, sehingga munculnya stigma negatif dari masyarakat terhadap para pahlawan yang berjasa dalam menyelamatkan saudara-saudara kita, yang perlu diingat bahwa mereka adalah manusia bumi yang berjiwa langit.
Mereka meninggalkan keluarga (anak, suami/istri. Ayah/ibu) karena tugas yang memanggil, dan mereka mau berkorban nyawa untuk kehidupan orang yang lainnya.
Mari, jangan pernah kucilkan mereka, karena belum tentu mereka terjangkit virus ini dan kita juga tidak pasti terbebas dari wabah tersebut.
Baiknya kita saling support dalam memerangi Covid 19 ini dan banyak berdoa, memohon pada Allah untuk segera mengangkat wabah ini, Aamiin.. (***)