Oleh Muhammad Syawal Djamil
Seorang Guru dan Pegiat Literasi di Pidie
Cukup miris ketika kita melihat tayangan video yang baru-baru ini beredar dan viral di media sosial, di mana dalam video tersebut terlihat sejumlah siswa laki-laki yang “mengamuk”. Mereka yang juga masih mengenakan seragamnya, menghancurkan satu persatu kursi dan meja belajar hingga hancur lebur dan tak bisa digunakan lagi. Bahkan, terlihat pula seorang di antaranya terlihat memegang palu. Ia juga menghantam kursi dan meja belajar.
Kepala SMK 2 Sigli, Iskandar, menceritakan kasus itu ke salah satu media lokal Aceh, bahwa kejadian itu berawal saat guru menyuruhkan kepada siswa masuk bengkel untuk praktik. Guru menyuruhkan pada siswa mencari kayu ukuran pendek untuk kegiatan praktik.
Lalu ada 5 orang siswa yang terlambat datang, dan mereka masuk ke kelas yang kosong, merusak beberapa kursi dan meja untuk diambil potongan kayu, (Serambi Indonesia, 25/01/2020). Setelah kejadian itu diketahui, mereka disidangkan oleh pihak sekolah dan melakukan permintaan maaf.
Nah, meskipun mereka sudah melakukan permintaan maaf; mengaku kesalahan, menyesal dan berjanji tidak mengulang lagi, tentu apa yang mereka lakukan cukup memberikan gambaran kepada kita semua bahwa karakter siswa di era milenial ini, diakui atau tidak, sudah mengalami degradasi yang kian parah.
Ini menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan karakter yang kita gadang-gadang dewasa ini belumlah berhasil. Pemandangan ini pula yang harus kita renungi, khususnya praktisi pendidikan.
Para pengajar dan juga guru, serta para orang tua, bahwa tantangan untuk membangun pendidikan karakter bukanlah sesuatu yang mudah. Ia membutuhkan komitmen besar dan peran semua pihak.
Pendidikan mestinya mampu melahirkan manusia-manusia yang berbudaya dan berkeadaban. Juga, pendidikan mestinya mampu men-stimulan seorang anak (siswa) untuk berpikir kritis dan kreatif dalam setiap aktivitasnya.
Artinya, jika ia dihadapkan pada suatu pokok permasalahan yang menbutuhkan tanggung jawab, maka ia mampu memilih cara yang tepat dalam menyelesaikan. Disamping itu, yang mesti kita sadari, berhasilnya pendidikan terlihat pada karakter individual siswa. Dan karakter itu erat sekali dengan sikap dan cara bertindak siswa.
Nah, apa yang disuguhkan oleh siswa sebagaimana terlihat dalam video yang menghebohkan itu, menunjukkan para siswa kita belum mampu berpikir kreatif dan miskin kreasi. Sikap mereka, cara bertindak mereka belum bisa diajak untuk menyambut dan masuk ke era baru; society 4.0. Apalagi hendak dibawa ke society 5.0.
Dan, sekali lagi, ini menunjukkan bahwa pendidikan kita belum berhasil. PR ini tidak bisa kita abaikan, bila kita tidak mau melihat sebuah generasi yang minus karakter.
Maka oleh karena demikian, mari, kita bersinergi dalam membangun pendidikan. Tak hanya guru, para orang tua, masyarakat juga harus mau menjadi partisipan dalam merapikan karakter para generasi kita.
Pada merekalah estafet peradaban ini kita wariskan. Karena sebagaimana kata orang bijak, untuk melahirkan seorang individu manusia yang baik (sesuai dengan nilai dan norma yang ada) maka membutuhkan sekumpulan manusia-manusia lainnya (masyarakat). Nyanban!