Pendidikan Politik Meningkatkan Kualitas Pemilu

Foto Mubassyir, S.E

Mubassyir,  Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Sosial

Universitas Tanjungpura, Pontianak

Bacaan Lainnya

Pemilihan kepala daerah di Indonesia pada tahun 2020 digelar secara serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Sistem pemilihan kepala daerah secara serentak pada tahun 2020 merupakan yang ketiga kalinya diselenggarakan di Indonesia. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan digelar secara serentak pada bulan September 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.  Dari  270 daerah yang melaksanakan pilkada serentak pada tahun 2020 ada 7 kabupaten dari provinsi Kalimantan Barat yang juga ikut dalam pesta Demokrasi 5 tahunan ini di antaranya adalah, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sambas, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Ketapang dan Bengkayang.

Pada dasarnya Kalimantan Barat sudah 3 tahun berturut – turut  menyelenggarakan pilkada. Secara sadar atau tidak masyarakat  Kalbar sudah semakin  dewasa dalam berpolitik. Meskipun pada pilkada 2018 menurut Mendagri Tjahjo Kumolo rawan, dikarenakan adanya konflik SARA sebelum pelaksanaan Pilkada 2018 tersebut. Berlanjut tahun 2019 pada  pemilu Presiden dan  Legislatif. Hal ini terjadi karena minimnya pendidikan politik masyarakat dan kurangnya sosialisasi.

Dari pemilu 2019 inilah bisa dievaluasi mengenai partisipasi pemilih, potensi pelanggaran,  daerah rawan konflik, dan daerah rawan bencana. Sehingga pada saat  pilkada serentak bulan September 2020 nanti Kalbar dapat menyelenggarakan Pilkada dengan lebih baik lagi. Dan hendaknya elit politik, lembaga terkait, kelompok dan invidual dapat bersatu untuk menjaga kualitas Pemilu. Dengan demikian mindset negatif masyarakat terhadap kualitas Pemilu bisa dirubah.

Pendidikan Politik

Menurut Rothe, pendidikan politik bertujuan mengembangkan dan memperkuat kesadaran akan nilai – nilai demokrasi. Jadi, kedaulatan rakyat yang harus dijalankan dan dipahami adalah prinsip – prinsip kehidupan bersama dan bernegara seperti musyawarah, aturan main, dan penegakan hukum serta pengawasan.

Karena betul apa yang dikatakan Clarke dalam memahami pendidikan politik, pada musim pilkada dikerjakan dengan emosi politik yaitu perasaan pribadi atau kelompok yang didasarkan pada konsepsi diri yaitu dipahami kolektif sosial hingga hubungan sosial yang hegemonik, juga meningkatkan solidaritas, dan juga melek politik dalam memahami demokrasi yang substantif seperti menghargai kebebasan, persamaan, toleransi, menghargai keyakinan, pemikiran orang lain. Dengan begitu pendidikan politik secara substantif  bisa tumbuh pesat  dan pesta demokrasi tidak sekedar menjadi ajang hura – hura apalagi hura – hara tak bermakna.

Partisipasi Pemilih

Memilih adalah manifestasi daulat rakyat untuk menentukan siapa yang akan berhak mewakili dan memegang “kuasa” atas rakyat di lembaga legislatif maupun eksekutif. Charles Bukowski bahkan mengatakan “The difference between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later; in a dictatorship you don’t have to waste your time voting.” Maka, memilih menjadi instrumen demokrasi paling mumpuni untuk meentukan apakah orang baik atau orang jahat yang dikehendaki pemilih untuk memegang kendali atas diri dan masyarakatnya di masa depan. Karenanya, pilihan yang diberikan pemilih sebagai artikulasi daulat rakyat wajib diterjemahkan sesuai yang sebenar-benarnya diinginkan rakyat. Suara pemilih wajib dikonversi menjadi kursi (kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih) sesuai kehendak murni pemilih yang telah mereka berikan di tempat pemungutan suara. Tidak boleh ada intepretasi, distorsi apalagi manipulasi.

Dalam aktualisasi budaya kewargaan, setidak-tidaknya terdapat dua jenis partisipasi yaitu autonomous participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation (partisipasi termobilisasi) (Hungtington & Nelson, 1977). Dalam Pemilihan, pemilih aktif tentunya akan melakukan partisipasi otonom dan sebaliknya. Pemilih pasif termasuk pemilih iliterat, sinis, dan pragmatis – adalah pemilih yang mudah sekali dimobilisasi. Mobilisasi pemilih bertentangan dengan prinsip kebebasan dalam Pemilihan.

Civic education (pendidikan kewargaan) atau edukasi elektoral (baca: program sosialisasi dan pendidikan pemilih) di Pemilihan Serentak 2020 harus bisa mentransformasi budaya politik partisan tersebut dan mampu mengotonomisasikan pemilih dalam berpartisipasi. Keberhasilan edukasi tersebut terepresentasikan dengan meningkatnya populasi pemilih aktif tidak sekedar memiliki kecerdasan politik, tetapi juga keberanian untuk berbeda sesuai pertimbangan rasional individual. Oleh karena itu, menciptakan atmosfir kebebasan politik individual dalam Pemilihan menjadi isu krusial.

Dalam pemilihan, warga negara kritis tersebut terpresentasi dalam pemilih aktif dengan sikap kritis-rasional. Mereka memiliki kemampuan evaluatif terhadap kompetensi kepemimpinan kandidat dan program-program politik yang ditawarkannya selama masa kampanye. Mereka memiliki daya tolak terhadap apapun yang sekiranya membuat mereka tidak berdaulat dalam pilihan politiknya.

Menjaga Kualitas Pemilu

Secara kelembagaan, kelompok dan Individu disini perlu perhatian lebih untuk dikedepankan diantaranya dari kelembagaan KPU dan Bawaslu menjaga kredibelitas dan integritasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Dari kelompok misalnya ormas, paguyuban, dan kepemudaan dapat memberikan gagasannya atau ide dalam mendorong pendidikan politik dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Dan individu memahami pula kesadarannya sebagai masyarakat yang berdaulat penuh atas hak dan kewajibannya dalam berbangsa dan bernegara.

Sehingga tak perlu merasa baper (bawa perasaan) dan akhirnya terbawa arus oleh strategi politik yang dimainkan para elit politik. Apalagi sampai membuat hari-hari kita suram dan bahkan harus melakukan pertengkaran yang tak perlu dengan teman, rekan kerja, ataupun keluarga karena beda pilihan politik, pemilu akhirnya menjadi pilu, seperti guyon beberapa orang, bukan proses demokrasi yang harus dirayakan dengan suka hati.

Dengan demikian, rawan konflik, minimnya partisipasi pemilih, potensi pelanggaran, dan daerah rawan bencana. Perlunya bahu membahu dari kelembagaan, kelompok dan individu melalui pendidikan politik masyarakat dalam menjaga kualitas pemilu. Semoga Kalbar Aman dan damai.

Kubu Raya, 12 Januari 2020

Pos terkait