Oleh Cut Amali Nabighah
Santri Kelas II MA Pesantren Muhammadiyah, Baitul Arqam, Sibreh, Aceh Besar
SABTU, tanggal 2 November 2019, saya masih ingat betul. Malamnya paman yang saya panggil Yah Cek menjemput saya ke pesantren. Saat itu saya tanya, “Kok jemputnya udah larut malam?”
“Bunda suruh jemput. Katanya Bunda sudah rindu sama Kakak,” jawab Yah Cek.
“Bunda di rumah sakit, ya?” tanyaku lagi pada beliau.
“Iya,” jawabnya lagi.
Setelah itu kami segera berangkat ke Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh. Lumayan jauh dari pesantren tempat saya belajar di Sibreh, Aceh Besar. Sekitar 15 kilometer. Tiba di rumah sakit, kami langsung mencari Ruang Zamzam 2 kamar 13 tempat bunda dirawat.
Setelah mengetuk pintu saya masuk dan bunda menyuruh saya salat Isya. Kemudian saya salat dan setelah itu saya berdoa dan menangis. Meminta kepada Tuhan untuk menyelamatkan ibunda saya. Beliaulah harapan saya satu-satunya.
Usai salat, bunda meminta saya berbaring di sampingnya. “Kak, Kakak ikhlas enggak Bunda pergi?” tanya Bunda.
“Kakak Ikhlas, Bunda pergi, tapi bagaimana adik-adik yang dua lagi, mungkin mereka belum siap ditinggal Bunda. Mereka pun masih perlu kasih sayang dari Bunda,” jawabku.
“Nanti kalau Bunda udah pergi, Bunda mau kalian buat mahkota surga untuk Bunda dengan hafalan kalian dan kalian harus ikhlas dengan kepergian Bunda,
karena Tuhan saya sama Bunda. Nanti kalau makin lama Bunda hidup, makin banyak dosa. Kalian mau Bunda makin banyak dosa? Kalau Bunda cepat pergi, Bunda cepat masuk surga. Kalian maukan Bunda masuk surga?”
Setelah Bunda berkata begitu lalu saya turun bersama ayah untuk makan malam. Selesai makan saya pulang ke rumah Ayah Bit. Tak lama kemudian saya tidur dan terbangun di subuh hari dan segera berwudu untuk salat Subuh. Tak lupa saya berdoa. Selanjutnya saya mandi dan pulang ke rumah.
Namun, begitu tiba di rumah saya melihat banyak sekali orang.
“Yah, kenapa banyak sekali orang?” tanya saya pada ayah.
“Bunda sudah tiada,” jawab ayah.
Mendengar jawaban itu tangis saya pecah dan bergegas masuk ke dalam. Saya duduk di dekat kepala bunda dan membaca surah Yasin dan Al Kahfi. Kemudian jenazah bunda dimandikan dan dikafani.
Lalu kami anak-anaknya mencium bunda untuk yang terakhir kali. Barulah setelah itu jenazahnya dibawa kemasjid untuk disalatkan dan dimakamkan.
***
Nama saya Cut Amali Nabighah. Saya anak pertama dari tiga bersaudara. Saya duduk di kelas 2 MA Pesantren Muhammadiyah, Baitul Arqam, Sibreh, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar.
Dulu, sebelum saya masuk ke pesantren, saya sempat berpikir kalau di pesantren itu tidak enak. Apalagi pasti akan jauh dari orang tua. Tidak bebas bermain seperti di rumah. Di pesantren banyak tantangan yang harus kita lewati sendirian tanpa bantuan orang tua lagi.
Saat pertama kali saya masuk ke pesantren, saya nangis-nangis minta pulang karena tidak betah. Alhamdulillah, setelah berjalan dua bulan saya mulai merasa nyaman dan malah tidak muncul lagi keinginan untuk pulang ke rumah.
Ternyata belajar di pesantren itu sangat menyenangkan karena selalu bersama teman-teman. Entah itu pagi, siang, sore, malam, subuh, hujan, badai, petir, topan, kita tetap bersama teman-teman. Walaupun kadang-kadang ada yang mem-bully tapi itu tetap namanya kenangan bersama teman-teman.
Kata orang, kalau kita sekolah di pesantren harus ada kenangan yang buruknya. Tidak selalu kenangan yang bagus-bagus. Saya sendiri tidak pernah punya niat untuk berbuat masalah karena itu akan membuat malu orang tua. Saya masuk pesantren dengan niat bisa menghafal 30 juz Alquran supaya bisa keliling dunia dengan hafalan Alquran.
Saya ingin membuktikan bahwa ini hasil perjuangan orang tua selama enam tahun saya di pesantren, orang tua ingin anak-anaknya pulang dengan hasil yang diharapkan.
Orang tua pun tidak ingin anak-anaknya menyia-nyiakan pengorbanan mereka yang telah membiayai sekolahnya. Saya akan selalu mengingat pesan bunda agar bersungguh-sungguh belajar.[]