Oleh: Karyadi el-Mahfudz, S.Th.I, MA
Bagian ke Tiga
Manusia dalam kehidupan dunia yang fana ini telah Allah ilhamkan dua unsur dalam surah As-Syams : 8
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya”
Bagian ‘fujuraha’ yaitu jalan kefasikan, dimana fasik itu sendiri secara etimologi berarti “keluar dari sesuatu.” Sedangkan secara terminologi berarti seseorang yang menyaksikan, tetapi tidak meyakini dan melaksanakannya. Dalam agama Islam, pengertian dari fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, dapat dipahami jalan yang diambil penuh dengan kemaksiatan dan dosa, ini yang pertama. Kedua adalah ‘wataqwaha’ yaitu jalan ketaqwaan yang secara harfiahnya dalam Tafsir Ibnu Katsir, arti dasar dari “takwa” adalah menaati Allah SWT dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah SWT serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran ‘kufr,’ pada tataran ini manusia dipenuhi oleh amal kebailan atau nilai-nilai illahiyyah.
Tetapi dua kutub keburukan dan kebaikan akan selalu kontraproduktif dalam relung hati manusia, yang secara tidak langsung menjadi barometer keimanan seorang hamba yang semuanya diserahkan pada indifidu masing-masing sesuai firman Allah surah al-Syams : 9 – 10
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Allah bersumpah atas nama jati diri atau jiwa manusia dan penciptaannya yang sempurna. Lalu Allah mengilhamkan kefasikan dan ketakwaan ke dalam jiwa atau diri manusia dengan jati diri manusia itu sendiri manusia diberi hak otonom untuk menentukan nasibnya sendiri, meretas garis takdir yang penuh misteri illahii. Betapa ini menunjukkan nama jenis, sehingga mencakup jati diri seluruh manusia akan berbeda hasil akhir yang diperolehnya, berupa catatan-catatan amal saleh yang menjadi dambaan setiap muslim.
Sudah seharusnya kita membangun komunikasi didasari dengan landasan keimanan yang kokoh melakukan dengan ‘qulan baligha’ dimana kita akan mampu memahami bahwa kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Qaulan baligha Allah berfirman :
اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ يَعْلَمُ اللّٰهُ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَ عْرِضْ عَنْهُمْ
وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَّهُمْ فِيْۤ اَنْفُسِهِمْ قَوْلًاۢ بَلِيْغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS. An-Nisa’ : Ayat 63).
Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, agar komunikasi berjalan dengan efektif dan tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka.
Komunikator dikatakan efektif bila ia menyesuaikan pesannya dengan kerangka rujukan dan medan pengalaman komunikannya.
Qaulan balighan terjadi bila komunikator menyentuh komunikan pada hati dan otaknya sekaligus.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW. bersabda, “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka.” (H.R. Muslim).
Maknanya gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan murid sekolah dasar tentu harus berbeda dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa, begitupun dalam kasus-kasus atau keadaan tertentu. Menata komunikasi harus selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk memahmi kalimat yang utuh tanpa tersinggung, menyinggung seseorang, menggunakan kalimat-kalimat santun dan bijak serta mampu memahami kondisi psikis audiens dalam untaian-untaian kalimatnya, selalu mengedepankan perasaan orang jika perasaan kita ingin dihargai oleh orang, tentu akan indah bukan ? []