Dr. Abdurrahman Misno BP, MEI
Sebagai agama langit (baca: samawi) Islam adalah manhaj al-hayat (pedoman hidup) bagi umat Islam dan seluruh umat manusia. Rahmat Islam tidak tersekat oleh ruang dan waktu, Islam telah menyebarkan rahmatNya dari wilayah panas di gurun sahara, hingga rimbunnya belantara Asia. Ia juga telah dipedomani oleh suku-suku asli Amerika hingga ke pedalaman Papua. Rahmat Islam adalah sebuah kepastian sebagaimana firmanNya:
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”. QS. Al Anbiya: 107.
Imam Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan beberapa mufasir lainnya menyatakan makna dari ayat ini adalah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini berarti bahwa kehadiran Islam sebagai agama langit juga menjadi rahmat bagi seluruh kehidupan umat manusia, bagi dari sisi politik, ekonomi, sosial serta adat dan kebiasaan manusia.
Ketika Islam menyebar memasuki wilayah di luar Jazirah Arabia, maka ia bertemu kemudian berdialog dengan tradisi, adat dan budaya yang berbeda dengan asal di mana Islam diturunkan. Islam berjumpa dengan tradisi Persia, India, Mesir, Eropa, China dan Nusantara. Di sinilah Islam membuktikan bagaimana ia bukan satu pedoman hidup yang kaku, bahkan ia dinamis sehingga memiliki sifat elastis pada beberapa bagian syariatNya.
Allah Ta’ala sendiri telah memberikan visualisasi yang jelas mengenai beranekaragamnya adat dan kebiasaan umat manusia. Sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. Al-Hujuraat: 13.
Merujuk pada ayat ini jelaslah bahwa Islam hadir memberikan solusi dalam menghadapi berbagai variasi adat dan kebiasaan di antara mereka. Islam memberikan ruang bagi budaya, adat dan tradisi masyarakat untuk berkembang dan bersandingan dengan Islam. Bahkan dalam sebuah kaidah Fiqhiyyah disebutkan:
اَلْعَادَةُ مُحَكْمَة
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”
Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Aljurjani, dan ‘Ali Haidar berpendapat bahwa al-‘adah semakna dengan al-‘urf, yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya dalam ucapan dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum. Sehingga segala hal yang dilakukan oleh individu, komunitas atau masyarakat tertentu yang dilakukan secara terus-menerus itulah yang disebut dengan adat. Contoh paling sederhana adalah bagaimana masyarakat Indonesia melakukan berbagai tradisi memperingati siklus kehidupan, dari mulai mengandung, melahirkan, khitan, menikah, hingga meninggal dunia.
Karakteristik dari Islam dalam menerima adat dan kebiasaan yang ada di masyarakat adalah selarasnya ia dengan fitrah manusia. Sehingga kemudian penggunaan kaidah ini menjadi dasar bagi umat Islam untuk menyikapi berbagai adat dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Secara singkat dapat dipahami bahwa rahmat Islam bagi adat dan kebudayaan manusia adalah senantiasa menyelaraskannya dengan syariah Islam yang hanif.
Permasalahan yang saat ini mengemuka di masyarakat adalah bagaimana sebenarnya Islam memandang adat dan kebiasaan masyarakat di Indonesia? Apakah Islam identik dengan Arab? Maka jawabannya adalah; Pertama: Islam menerima adat dan budaya yang ada di Indonesia selama tidak bertentangan dengan nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat Qath’i, semisal berziarah kubur, mendoakan kebaikan bagi orang yang sudah meninggal dunia, bermaaf-maafan di hari raya Idhul Fitri dan tradisi baik lainnya. Adapun tradisi yang jelas ada larangannya semisal riba (bunga bank), perjudian, mengonsumsi khamr, berkurban dengan selain Allah, beribadah kepada selain Allah maka hal itu diharamkan dalam Islam. Kedua; Islam tidaklah identik dengan Arab, karena banyak juga tradisi Arab yang tidak sesuai dengan Islam dan ditolak oleh Islam. Sehingga menerima Islam bukan berarti menerima Arab, hanya tradisi Arab yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang menjadi bagian dari syariat Islam. Drm. []