Oleh Said Mahyiddin Muhammad
Ketua Lembaga Studi Islam dan Kemuhammadiyahan (LSIK) Unmuha
Meninggalnya seorang mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Makasar, pada hari Kamis, 2 April lalu, telah menyayat hati kita semua. Mahasiswi bernama Munawarah itu baru duduk di Semester dua. Dia keluar rumah dengan sepeda motor melewati pergunngan untuk mencari internet guna mengecek tugas kuliah. Dalam perjalanan terjadi kecelakaan yang mengakibatkan Munawarah meninggal dunia. (detikcom/8/4/2020).
Dapatkah kita bayangkan, jika si Munawarah itu adalah anak kandung kita? Mungkin kita akan berkata, betapa kejamnya dunia pendidikan. Dalam situasi masyarakat sedang bertarung dengan wabah Covid-19 untuk menyelamatkan jiwa, namun dunia pendidikan justru merengut jiwa.
Cerita tentang Munawarah, mungkin hanya setitik kasus dalam lautan pendidikan kita yang begitu luas, rumit serta paradoks. Betapa banyak keluhan dan rintihan anak didik dan orang tuanya yang tidak sampai di pelupuk mata dan lubang telinga kita. Sebab mereka saat ini sedang menghadapi ‘badai’ Covid-19 dan berjuang melawan serangan kepailitan ekonomi.
Kita tidak tahu, apa yang sedang dialami mereka dan keluarganya. Mungkin saja mereka sedang bertahan hidup dengan segenap daya dan upaya. Sementara dunia pendidikan dan cita-cita mereka “di tawaqqufkan” (digantung sementara) sampai situasi membaik.
Keadaan telah memaksa mereka kembali ke kampung halaman yang tersebar di berbagai kota, desa, bahkan daerah pedalaman yang terpencil. Mereka memilih pulang kampung untuk meringankan beban orang tua. Di samping itu, untuk menghindar dari ancaman Covid-19 yang mematikan itu. Maka berkumpul bersama orang tua merupakan pilihan terbaik saat ini.
Yang pasti, bukan keinginan mereka untuk meninggalkan kampus dan aktifitas pendidikan. Dan lembaga pendidikan pun demikian, terpaksa menhentikan seluruh aktifitas kuliah dalam bentuk tatap muka. Kemudian mengganti proses belajar-mengajar dengan sistem online. Baik anak didik, dosen maupun lembaga pendidikan sama-sama menghadapi situasi krusial tanpa direncanakan sebelumnya.
Setiap perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, menurut teori William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, selalu berdampak pada timbulnya masalah-masalah baru. (Rahmat: 1999). Masalah yang dimaksud adalah setiap individu merasa terancam oleh perubahan yang terjadi, seperti trauma dan kegoncangan jiwa, inilah yang disebut dengan disintegrasi individual.
Jika lebih banyak anggota masyarakat yang mengalaminya, maka akan berubah menjadi disintergrasi sosial. Kemudian berakhir dengan sakit jiwa massal. Hal ini dapat kita lihat dalam masa darurat Covid-19 ini, di mana seorang ayah memvideokan dirinya menangis terisak-isak sambil menceritakan keluarganya yang tidak makan. Ini akibat tekanan mental sehingga dia tidak mampu lagi berfikir karena goncang jiwanya oleh perubahan tiba-tiba. Ini sama halnya dengan seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang paling dicintainya secara mendadak.
Kondisi seperti di atas, kita alami secara kolektif saat ini, baik lembaga pendidikan, dosen, mahasiswa dan manyoritas anggota masyarakat. Perubahan metode belajar-mengajar dari sistem tatap muka ke sistem online, akan melahirkan masalah-masalah baru. Bagi mereka yang tinggal di pedesaan dan pedalaman, akan kesulitan mencari Warnet atau sinyal internet.
Barang kali juga, mereka tidak memiliki uang untuk membeli pulsa internet karena lebih terfokus untuk makan sehari-hari. Banyak anak didik menghadapi dilema, antara pilihan mengisi otak dengan mengisi perut. Itulah yang dialami Almarhumah Munawarah.
Kondisi inilah yang sedang dialami mahasiswa Aceh, yang tinggal di daerah pedalaman. Bagi mereka yang tinggal di pedalaman pulau Simeulu, Pulau Banyak, pedalaman Takengon dan Gayo Lues, harus mendaki puncak gunung untuk mencari sinyal internet. Bahkan ada yang terpaksa memanjat pohon kelapa, pohon kayu dan berjalan sampai puluhan kilometer.
Di lain pihak, mereka yang tinggal di perkotaan juga menghadapi problem yang tidak kalah sulit. Di tengah wabah Corona sedang dalam puncuk penularannya, mereka juga terpaksa keluar rumah untuk mengerjakan tugas kelompok. Dalam kondisi yang “ngeri-ngeri sedap” itu, mau tadak mau mereka terpaksa bertemu teman-temannya di luar rumah dengan alasan tugas yang menumpuk. Keadaan ini tentu sangat menghawatirkan orang tua terhadap penularan wabah Corona menimpa anaknya.
Berdasarkan gambaran di atas, dosen dan lembaga pendidikan perlu “bertafakkur” bagaimana mana kuliah online tidak menciptakan banyak problem baru. Akan tetapi kuliah online menjadi metode yang ramah serta dapat meringankan beban anak didik dan keluarganya. Sebab kuliah dengan sistem online sekarang ini bukanlah sesuatu yang ideal dengan pencapaian maksimal. Kuliah online merupakan pilihan terbaik di antara yang paling buruk, karena diberlakukan secara tiba-tiba. Bayangkan, jika dari 40 mahasiswa, hanya 20 orang yang memiliki peralatan, seperti laptop dan jaringan internet? Sementera 20 orang lagi selama ini mereka menggunakan computer rental. Dengan demikian mereka pasti gagal. Lalu nilai apa yang akan diberikan dosen kepada mereka yang gagal itu?
Kuliah online memang menjadi solusi dalam situasi sekarang, karena jalur ini yang paling mungkin dilakukan. Namun ada sebagian dosen, menganggap kuliah online bukan lagi standar minimal, malah tugasnya melebihi standar normal. Bahkan ada yang sudah over kapasitas, sehingga kegagalan lebih mungkin dialami anak didik ketimbang keberhasilan.
Para dosen semestinya lebih mengedepankan jiwa arif dan bijaksana ketimbang kebenaran sistemik. Jika tidak demikian, diantara 40 orang anak didik, mungkin hanya 10 orang yang berhasil menyerap pelajaran, 10 orang lagi setengah berhasil, sedangkan 20 orang lagi dipastikan tidak berhasil. Kalau demikian halnya, muncul pertanyaan, apakah 20 orang yang tidak berhasil itu karena bodoh, atau karena tidak didukung oleh fasilitas (laptop, akses internet dan pulsa)? Atau karena dosennya yang tidak maksimal menjelaskan pelajaran kepada anak didik, karena sinyal sering terganggu? Nilai apakah yang harus diberikan kepada mereka yang gagal? Bijaksanakah seorang Dosen, memberika nilai E kepada 20 orang anak didik yang gagal karena tidak didukung fasilitas?
Antara Benar dan bijaksana
Sebagian orang menganggap sama antara benar dan bijaksana. Dalam kaitannya dengan pendidikan, antara benar dan bijaksana dua hal yang berbeda meski pun tujuannya sama. Mungkin saja seseorang itu benar, tapi belum tentu bijaksana. Secara sederhana, benar dapat dikatakan, apabila seorang Dosen telah melakukan tugas mengajar dengan tatap muka 16 kali sesuai Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Kemudian melakukan evaluasi (kehadiran, Quis, mitem, final dan tugas), serta memberikan nilai terhadap prestasi anak didik berdasarkan hasil evaluasi.
Setelah melakukan evaluasi akhir, Dosen memberikan nilai tanpa pilih kasih. Mahasiswa yang memperoleh nilai 85 ke atas mendapat nilai A. perolehan 70 ke atas dapat B, perolehan 50 ke atas dapat C, dan 30 ke atas dapat E. Apabila terdapat 40 orang anak didik dalam satu kelas, 10 orang dapat A, 10 orang dapat B, 15 orang dapat C dan 5 orang lagi dapat E. Inilah kebenaran sistemik.
Setiap Dosen yang telah menjalankan tugas seperti itu berarti dia benar. Namun Ini tentu berlaku dalam situasi normal, karena demikianlah seharusnya. Tetapi bagaimana dalam situasi darurat Covid-19 seperti sekarang? Apabila seorang Dosen yang karena mengikuti kebenaran sistemik, lalu mengajar secara online sesuai RPS. Dia meuntut semua anak didiknya mengikuti kuliah seperti keadaan normal. Selanjutnya memberi penilaian menggunakan standar normal seperti gambaran di atas, dia seorang dosen yang benar, sekaligus dosen yang tidak bijaksana.
Apakah bijaksana itu?
Bijaksana adalah memutuskan sesuatu dengan tepat, bermanfaat tanpa menimbulkan mudharat. Atau memutuskan sesuatu menekankan pencapaian tujuan akhir, meski pun ada sebagian aturan yang tidak diikuti. Tepat terkadang tidak benar, demikian pula yang benar belum tentu tepat. Karenanya, adakalanya orang mencapai tujuan dengan mengikuti aturan yang ketat dan kaku, karena itu menjadi standar kebenaran.
Sementara dalam pandangan orang bijak tujuan lebih penting dari aturan yang bersifat kaku itu. Sebab sebuah aturan yang benar terikat dengan waktu dan tempat. Sedangkan sifat bijaksana berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Karena itulah, ucapan orang bijak selalu relevan dengan zaman dan tempat. Sedangkan peraturan sering berubah karena tuntun waktu dan tempat.
Dalam kehidupan sehari-hari, bijaksana sering dinisbahkan kepada orang tua (dituakan), karena mereka dipandang lebih bijak dari yang muda. Makanya orang tua-tua sering digelar dengan cerdik-pandai. Cerdik simbul bijaksana, sedangkan pandai simbul pengetahuan (keilmuan). Kaum cerdik-pandai dalam suatu masyarakat sering membuat kata-kata bijak.
Orang tua-tua di Aceh, menrumuskan bijaksana itu dalam ungkapan,“uleu beu matee, ranteng bek patah.” (Ular harus mati, tapi ranting jangan patah). Kalau orang tua di Ranah Minang, mengungkapkan bijaksana itu dalam ungkapan, “Alu tatarung patah tigo, samuit tapijak indak mati.” (Alu/antam yang besar dipukul patah tiga, tetapi semut yang terpijak tidak mati). Maksud dari kedua ungkapan di atas, mengajarkan kita agar setiap urusan harus selesai, artinya tujuan harus tercapai, tetapi jangan menimbukan kememudharatan bagi orang lain. Inilah yang dikatakan bijaksana.
Jika belajar online membuat anak didik lebih stres dan menderita dari pada belajar dalam waktu normal, yang berdampak lebih buruk, atau merugikan satu pihak, maka yang demikian bukanlah bijaksana. Begitu juga, jika seorang dosen memberikan tugas kuliah kepada mahasiswa melebihi atau sama dengan masa normal, berarti dosen tersebut belum bijaksana.
Demikian pula jika akademik menuntut dosen untuk mengajar seperti dalam situasi normal, berarti akademik juga bijaksana. Meski pun secara sistemik itulah yang benar. Padahal kebenaran tidak selalu ditegakkan semata-mata berpegang kepada aturan yang tertulis (tersurat) atau sistemik. Akan tetapi berapa banyak kebenaran itu kokoh karena orang yang menegakkannya lebih bijaksana.
Manusia dapat mengendalikan sistem ke arah yang lebih bijaksana, sebab manusialah yang menciptakan sistem itu. Karenanya sistem pendidikan yang kita ciptakan, harus mampu kita kendalikan agar tidak “menjajah” orang, termasuk diri kita sendiri. Sistem tidak pernah mendengan seorang ibu menangis dan seorang anak yang mengeluh karena beban pendidikan.
Akan tetapi semua itu kitalah yang mendengar dan menyaksikannya. Sistem pendidikan yang bersifat abstrak itu, tidak bisa merasa apa yang kita rasa, anak didik dan masyarakat, karena sistem itu tidak hidup, tidak melihat dan merasa. Dia hanya alat untuk memandu dan mengarahkan kita dalam mencapai tujuan. Namun demikian kita jangan sampai mengabdi kepadanya, karena obyek pendidikan adalah manusia. Sementara pendidikan manusia memiliki dimensi kognitif dan afektif. Maka dapat kita katakan kognitif mengusung unsur kebenaran, sementara afektif mengusung unsur kebijasanaan. Keduanya harus berjalan bersama dalam dunia pendidikan.
Pendidikan manusia bukanlah seperti kereta api, yang selamanya berjalan mengikuti rel besi, hanya bisa berhenti apabila sudah tiba di stasiun, serta tidak bisa berbelok ke sana ke mari. Akan tetapi pendidikan manusia ibarat air yang mengalir, ada kalanya mengikuti aliran sungai, terkadang meluap ke daratan, terkadang tergenang di suatu tempat, terkadang terjun ke jurang, kadang deras meriak, terkadang kadang tenang dan menakutkan.
Akan tetapi kemana pun air mengalir, dia membawa kehidupan bagi seluruh makhluk. Begitulah diharapkan pada diri seorang pendidik, di mana unsur bijaksana lebih mendominasi pikiran dan jiwanya. Betapa banyak orang pintar, namun kepintarannya itu justru menjauhkannya dari sikap bijaksana. Wallahu a’lam. (***)