Oleh: Abdurrahman Misno
Perpustakaan sebagai gudangnya ilmu pengetahuan memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan masyarakat. Ia adalah tempat untuk membaca buku, menggali berbagai ilmu pengetahuan serta mengasah ketrampilan. Tujuan akhir dari semua aktiftas tersebut adalah terwujudnya masyarakat yang maju dan berperadaban. Memiliki tingkat minat baca yang tinggi, mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan memiliki keterampilan sebagai bekal dalam kehidupan.
Seiring berkembangnya masyarakat, maka kebutuhan akan perpustakaan yang tidak hanya sekadar tempat untuk membaca semakin terasa. Perpustakaan harus meningkatkan perannya sebagai agent of change, sehingga memberikan manfaat yang tinggi bagi masyarakat. Perpustakaan harus bertranformasi dengan meningkatkan layanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga transformasi perpusatakaan berbasis inklusi sosial menjadi sebuah keniscayaan.
Konsep inklusi sosial pertama kali muncul pada tahun 1970-an di Prancis sebagai respon terhadap krisis kesejahteraan di negara-negara Eropa, yang memiliki dampak yang meningkat pada kerugian sosial di Eropa. Konsep ini menyebar ke seluruh Eropa dan Inggris sepanjang tahun 1980-an dan 90-an. Selanjutnya pada Konferensi Tingkat Tinggi World Summit for Social Development, Copenhagen, Denmark, 6-12 March 1995 kembali ditekankan pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan. Konferensi ini memutuskan untuk terus berupaya menanggulangi kemiskinan, mendorong masyarakat yang stabil, aman, dan adil bagi masyarakat sebagai tujuan utama dalam pembangunan. Inilah yang kemudian dirumusan sebagai inklusi sosial yaitu pembangunan berkesejahteraan yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama dengan tujuan masyarakat yang stabil, aman, dan adil.
Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 2 menyebutkan bahwa “Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan”. Merujuk pada hal ini maka perpustakaan mengemban amanah sebagai tempat pembelajaran dan kemitraan bagi masyarakat yang dikelola secara profesional dan terbuka bagi semua kalangan sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan dapat diukur capaian kinerja bagi kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran sepanjang hayat merupakan kata kunci dalam pengembangan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Sehingga inklusi sosial sebagai basis transformasi perpustakaan adalah pendekatan berbasis sistem sosial yang memandang perpustakaan sebagai sub sistem sosial dalam sistem kemasyarakatan. Untuk itu, perpustakaan dirancang untuk memiliki manfaat yang tinggi di masyarakat. Perpusatkaan berbasis inklusi sosial merupakan upaya meningkatkan akses kepada masyarakat agar mendapatkan informasi yang mereka butuhkan. Sehingga terjadi proses belajar yang mendorong kreatifitas dan inovasi agar menjadi produktif, bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui pendekatan inklusif ini perpustakaan mampu menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk memperoleh semangat baru dan solusi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan.
Gagasan mengenai inklusi sosial di bidang perpustakaan mulai diwacanakan pada tahun 1999 melalui dokumen Libraries for All: Social Inclusion in Public Libraries Policy Guidance for Local Authorities in England October 1999. Dokumen ini diterbitkan oleh Department for Culture, Media and Sport, Gov. UK. Pembahasan utama dokumen ini adalah adanya tujuh (7) kunci dalam pengembangan inklusi sosial di bidang perpustakaan, yaitu; (1) perlunya inklusi sosial di perpustakaan umum, (2) kontek inklusi sosial, (3) identifikasi dan hambatan keterlibatan masyarakat, (4) kebijakan inklusi sosial, (5) sarana untuk mencapai tujuan, (6) tantangan yang dihadapi perpustakaan, (7) proses konsultasi.
Selanjutnya pada The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) kembali dibahas masalah ini pada tahun 2007 dalam pertemuan World Library and Information Congress: 73rd IFLA General Conference and Council 19-23 August 2007, Durban, South Africa. Melalui tulisan Prof Ina Fourie Department of Information Science, University of Pretoria dengan judul tulisan “Public libraries addressing social inclusion: how we may think…”. Tulisan ini membahas tentang identifikasi permasalahan, kompleksitas, target kelompok, capaian kegiatan, solusi permasalahan, layanan dan inisiatif yang diperlukan, keterampilan penelitian, penelusuran subjek literatur, pengetahuan diri, survei literatur dan penelitian konsep inklusi sosial yang mengacu pada semua upaya dan kebijakan untuk mempromosikan kesetaraan, kesempatan kepada semua orang dari berbagai keadaan dan kategori untuk mengakses dan mendayagunakan perpustakaan. Merujuk pada rumusan tersebut maka layanan yang ditawarkan perpustakaan harus siap dapat diakses oleh semua yang membutuhkan. Sehingga Layanan perpustakaan dapat merangkul kalangan seluas mungkin.
Pemerintah Indonesia melalui ementerian PPN/Bapenas mulai tahun 2018 telah menetapkan Kebijakan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial. Target tahun 2018 sebanyak 60 lokasi, target tahun 2019 sebanyak 300 lokasi dengan alokasi anggaran 145 miliar + DAK 300 miliar. Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial merupakan suatu pendekatan pelayanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan. Transformasi tersebut dapat diwujudkan dalam 4 peran, yaitu: (1) Perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat kegiatan masyarakat, dan pusat kebudayaan (2) Perpustakaan dirancang lebih berdaya guna bagi masyarakat (3) Perpustakaan menjadi wadah untuk menemukan solusi dari permasalahan kehidupan masyarakat (4) Perpustakaan memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Tujuan Kebijakan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial adalah untuk: (1) Meningkatkan literasi informasi berbasis TIK, (2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat (3) memperkuat peran dan fungsi perpustakaan, agar tidak hanya sekadar tempat penyimpanan dan peminjaman buku, tapi menjadi wahana pembelajaran sepanjang hayat dan pemberdayaan masyarakat.
Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial merupakan optimalisasi peran perpustakaan sebagai pembelajaran sepanjang hayat (long life education). Hal ini karena perpustakaan bukan hanya sebagai pusat sumber informasi tetapi lebih dari itu sebagai tempat mentrasformasikan diri sekaligus sebagai pusat sosial budaya dengan memberdayakankan dan mendemokratisasi masyarakat dan komunitas lokal, dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga masyarakat akan mampu untuk terus meningkatkan ilmu pengetahuan yang akan berimplikasi kepada kesejahteraan mereka. []