Oleh : Karyadi el-Mahfudz, S.Th.I, MA
Part 1
Manusia dengan alam pikirannya harus selaras dengan qalbu atau hati yang menjadi barometer tindak tanduk menjalani kehidupan didunia ini. Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah SAW bersabda, “Jagalah lisanmu, luaskanlah rumahmu dan tangisilah perbuatan salahmu,”
Dapat diuraikan, kata dia, bahwa kalau mau selamat dunia dan akhirat, jangan bicara kecuali benar dan manfaat, karena setiap kata yang diucapkan pasti didengar oleh Allah dan pasti dimintai pertanggungjawaban. Berpikir sebelum bicara adalah keniscayaan karena kalau sudah keluar tidak bisa ditarik lagi.
Luaskan rumahmu syarat makna karena Rasulullah sendiri rumahnya sempit dan mungil, sehingga suatu hari beliau shalat tahajjud yang mana disisinya ada Aisyah yang sedang tidur, setiap kali beliau turun sujud beliau menyingkirkan kakinya Aisyah. Dapat dibayangkan perbedaan yang signifikan antara rumah Rasulullah dengan rumah orang-orang kebanyakan yang megah dan luas, namun maksud perluas rumahmu adalah menjadikan rumah itu sebagai tempat yang penuh keberkahan, ketentraman dan terasa sejuk ketika kita berada didalamnya. Selalu dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, shalat sunnah, pengajian dan yang lainnya. Ditambah lagi sebagai tempat suami mendidik istri dan anak-anak sehingga rumah menjadi surga yang dirindukan, “baiti jannati.”
Kemudian manusia tidak lepas dari salah dan dosa serta dilingkupi kemaksiatan, maka Rasulullah memerintahkan agar kita senantiasa memohon ampun kepada Allah agar semua dosa kita di ampuni oleh Nya. Karena selalu-baik manusia adalah seseorang yang melakukan kesalahan lalu is bertaubat kepada Allah, ia menangisi dosa dosanya, sehingga ia akan meninggalkan semua kegelapan dosa yang telah ia kerjakan. Bahkan orang yang menangis karena dosa akan dilindungi oleh Allah ketika ke padang Mahsyar nanti sebagaimana hadits dari Abu Hurairoh.
Menjadi manusia sebagai pengendali dibumi tidak semudah membalikkan telapak tangan, membutuhkan kesadaran diri untuk memulainya setidaknya keniatan pada individu ada. Keniatan diimpementasikan melalui kata atau ucapan, ketika ucapan ini baik atau ‘ma’ruf’ maka akan menghasilkan nilai kebaikan. ‘Ma’rufa’ identik dengan kata urf atau budaya. Menurut M. Quraish Shihab, ma’ruf secara bahasa artinya baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Qaulan ma’rufa berarti perkataan yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, qaulan ma’rufa berarti pula perkataan yang pantas dengan latar belakang dan status seseorang, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan serta pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
Seorang guru hendaknya berutur kata yang santun karena memang pantasnya begitu. Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator. Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Pun dengan seorang da’i, profesi yang selau disebut dalam Islam sebagai orang yang bertugas mengajak, mendorong orang lain untuk mengikuti, dan mengamalkan ajaran Islam. Seorang dai terlibat dalam dakwah atau aktivitas menyiarkan, menyeru, dan mengajak orang lain untuk beriman, berdoa, atau untuk berkehidupan Islam.
Bahkan hapir sama dengan da’i yaitu muballigh yang tugasnya adalah menyampaikan ajaran Islam sebagaimana tuntunan Al-Quran dan Al-Hadits kepada umat manusia, mengajak seluruh manusia untuk berbuat kebaikan dan menjauhi dari hal yang munkar.
Baik guru, da’i, mubaligh, atau pimpinan ormas yang memberikan pelayanan kepada masyarakat; menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat dalam mewujudkan tujuan negara. Hendaknya berbicara dengan perkataan ma’ruf, karena memang seperti itulah pantasnya.
Kata qaulan ma’rufan disebutkan Allah SWT dalam Al-Quran sebanyak lima kali.
Pertama, berkenaan dengan pemeliharaan harta anak yatim.
Kedua, berkenaan dengan perkataan terhadap anak yatim dan orang miskin.
Ketiga, berkenaan dengan harta yang diinfakkan atau disedekahkan kepada orang lain.
Keempat, berkenaan dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT terhadap istri Nabi SAW.
Kelima, berkenaan dengan soal pinangan terhadap seorang wanita.
Kata Ma’rufan dari kelima ayat tersebut berbentuk isim maf’ul yaitu dari kata’arafa, bersinonim dengan kata Al-Khair atau Al-Ihsan yng berarti baik.
Berikut adalah salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menerangkan mengenai Qaulan Ma’rifan :
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَآءَ اَمْوَا لَـكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللّٰهُ لَـكُمْ قِيٰمًا وَّا رْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَا كْسُوْهُمْ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasilB harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 5)
Mengapa anak yatim menjadi itibar penguat ucapan qaulan ma’rufa, cukup jelas bagi kita Nabi Muhammad SAW sangat sayang kepada anak yatim sekaligus orang yang menyantuninya. Bahkan beliau bersabda: ana wakaafilul yatiim, kahaataini fil jannah; “saya bersama dengan orang yang mau menyantuni anak yatim, kelak senantiasa berdampingan di surga.”
Begitu mulianya anak yatim dimata Rasulullah, maka sudah seharusnya kita menata diri kita untuk menjaga lisan kita dengan “qaulan ma’rufa” yah perkataan yang baik yang dapat menyelamatkan lisan kita, bukan ? []